Kamis, 26 Maret 2015

Review Novel Horor "Berikutnya Kau yang Mati" Karya Kak Arie F. Rofian

Judul: Berikutnya Kau yang Mati

Penulis: Arie F. Rofian

Penyunting: Dyah Utami

Penyelaras Akhir: Sasa

Perancang dan Ilustrasi Sampul: Fahmi Fauzi

Penata Letak: Theresa Greacella

Penerbit: Moka Media

Blurb

Ini adalah kisah enam anak manusia, terpisah ruang dan jarak. Mereka semua tak saling mengenal. Mereka semua tak mengerti. Namun, tanpa pernah mereka sadari, mereka telah terjebak dalam lingkaran takdir kematian. tanpa bisa mereka tolak, kematian mengetuk pintu rumah mereka. Satu persatu, Dan sekarang, mereka harus menghadapi hal yang lebih menyakitkan dari kematian.


***
"Gelap dan hening. Terlampau hening, bahkan. Jantungku mendadak berdegup lebih keras. Tanganku meraba-raba, mencari pegangan untuk kemudian melangkah. Tak ada apa-apa, kecuali permukaan dinding yang memantulkan hawa dingin. Jari-jariku lantas menelusuri permukaan dinding secara perlahan. penelusuran itu baru berakhir ketika jariku mendapati gumpalan cairan yang kental membasahi dinding. Aku mengendus, mencium bau anyir dari jariku yang baru saja menyentuh dinding.

Darah!"

Sebenarnya sih pengen ngereview ucapan terimakasih sama profil penulisnya, tapi ternyata si Penulis mampu menebak akal busuk saya. Sehingga saya langsung dicekal dan diancam kalau sampai terjadi, maka dia bakal memborong stock cokelat di pasaran. Dan saya bakal nelangsa kehabisan cokelat. :D
Jujur, ini novel horor kedua yang saya baca. Sampai saya bacanya merem melek. Jungkir balik. Disela makan cakue dulu. Disela makan bakso malang dulu (Oke, itu sih saya yang rakus) :D
Ide ceritanya keren. Menarik. Karena bagaimana mungkin ada enam anak manusia yang tidak saling mengenal dapat dikaitkan dalam satu alur novel. Meski mungkin juga ada yang pernah memiliki ide tersebut, sama halnya Kolase Perempuan Fiksi dulu, tapi cuma lima anak manusia. Nggak bisa bikin sampe enam. Nggak kuat. Baru nulisnya aja udah melambai ke kamera.

Di bab pertama yang diberi judul Jembatan Gantung, yang dipikiran saya pasti tentang kejadian yang mana di jembatan nanti terjadi kematian. Memang benar, tapi bukan itu ternyata inti ceritanya. Si Penulis dengan seenaknya sendiri melempar-lempar pembaca ke berbagai macam kejadian yang dibalut dalam diksi rapi. Membuat nafas pembaca naik turun dan menebak-nebak apalagi yang akan terjadi ke depannya.  Itu keren, Jon. :') (jujur pake banget).

Di bab selanjutnya juga sama. Alurnya tidak dapat ditebak. Banyak sekali nilai plus yang saya dapat dari novel horor ini.

1. Ide ceritanya tidak hanya tentang takdir enam anak manusia yang tidak saling mengenal tapi mengalami keterkaitan takdir yang sama. Yaitu kematian.. Lebih dari itu. Penulis dengan apiknya menyisipkan tokoh di bab pertama ada di bab ke dua. Tokoh di bab kedua ada di bab pertama. Dan seterusnya... Saya yang membacanya juga sampai keheranan. Damn! Keren nih orang nulisnya!!! (baca; pake ekspresi squidward).
2. Alurnya tidak dapat ditebak.
3. Membuat pembaca tidak sabar ingin segera menamatkan bacaannya dan mengetahui bagaimana ending-nya.
4. Ketegangan yang diusahakan oleh penulis dalam narasinya, berhasil. Saya sampai panas dingin membacanya.
5. Tidak hanya tentang kematian. Tapi novel ini juga berisi unsur psikologis yang mengharuskan salah satu tokoh berkonsultasi ke seorang psikiater. Benar-benar  membuat saya lupa bahwa Penulis novel ini lulusan manajemen. =D
6.  (....)

Nah... kelebihan yang ke enam dan selanjutnya, giliran kalian yang menambahkan. :D
So, Guys... langsung aja ke toko buku kesayangan kalian buat hunting novel horor yang penulisnya nggak horor ini. Semoga kalian menjadi yang berikutnya. :)

Kamis, 19 Maret 2015

Idealisme? Lupakan!

Idealisme? Lupakan!

Hahaha
Nggak tau kenapa pengen bikin note tentang ini. Lebih masuk kategori note curhat sih yaaa. *telenember. :D
Ah! Bahas tentang perkuliahan, memang nggak pernah ada habisnya. Gue kira… masa SMA aja yang paling indah. Ternyata memang iya. #eh? xD
Kemana perginya bayangan kuliah itu indah? #plak

Semester kali ini, banyak hal aneh yang nggak sesuai dengan idealisme gue. Banyak juga materi perkuliahan yang menurut gue bisa lebih berbobot malah berantakan. Bahkan materinya bisa kita pelajarin sambil tiduran di kamar. Huft!
Tapi itulah cobaan menuntut ilmu. Kita harus patuh kepada guru, bukan? Dan dalam hal ini, dosen adalah segalanya.

Yang gue tau, sekarang udah nggak musim kalo yang jadi central itu cuma guru. Bahkan peserta didik bisa mengeksplorasi kemampuannya sendiri, terlebih mahasiswa. Tapi nggak banyak juga masih ada dosen yang menganggap dirinya central dan kita nggak boleh berargumen sama sekali. Ck! #gerogotinmouse.
Pas semester tiga sama semester empat, begitu ada dosen yang kayak gitu, gue langsung mogok berangkat dan lebih memilih ikut kegiatan yang lain. Diskusi, seminar atau apapun yang nggak bikin otak gue tumpul. Bahkan nggak jarang gue berangkat kuliah tapi nggak masuk ke kelas. Dan begitu kelas bubar. Temen sekelas gue ngeliat tampang gue dengan kaget “Teteh! Kok nggak masuk?”. Hemmh… dan tau apa yang gue dapet? Nilai yang sangat memuaskan. Yaitu “E”.

Walaupun gue berani buat disuruh ujian sendirian dan gue isi tuh lembar jawab sampe penuh. Tapi tetep! Gue “E”. Apa gue kecewa? Nggak! Nggak sama sekali! Ada kepuasan tersendiri yang gue pun nggak paham maksudnya. Bukan ngerasa sok keren. Sumpah! Tanpa merasa sok keren pun, gue emang udah keren. *plok :D

Tapi kawan… ada yang gue lupa. Ada yang gue sakitin di sini. Siapa? Jelaslah orang tua gue. #eaaaaaaaaaa. :’)

Gue harusnya nggak hanya menyenangkan bathin gue sendiri aja. Dengan nggak mengikuti perkuliahan yang nggak sesuai dengan diri gue. Tapi inget! Inget! Mereka yang selalu doain keberhasilan gue *yang ini cuma nebak-nebak. Nggak tau dah doain apa nggak* :D

Intinya, semester ini gue kalah. Lupain dosen yang seharusnya membimbing kita untuk membuat RPP, tapi malah dosen itu nggak membimbing kita sama sekali. Bahkan beliau sendiri bukan guru. *gimana bisa bikin RPP kalau beliaunya bukan guru. Rrrrrrrrrr…* lupain! Nggak peduli seberapa nggak sinkronnya hal itu. Yang penting gue kuliah! Yang penting gue dapet absen!
Lupain dosen yang hobinya cuma marah kalau yang kita kerjain nggak sesuai apa yang dia harapkan. *gimana bisa ngerjain tugas dengan bener. Instruksi dari beliaunya aja muter-muter Surabaya dulu. Padahal cuma mau ke Jakarta* lupain! Yang penting gue udah nyoba ngerjain dan gue dapet tanda kehadiran!
Lupain dosen yang seenak perutnya sendiri. Mindah-mindah jadual sampe nggak dapet kelas. Sampe kita belajar dan diskusi di taman *gimana mau kondusif* Huffft! Yang penting gue aktif diskusi walopun suara gue sampe abis. xD
Lupain dosen yang marah-marah kalau kita terlambat. Padahal beliau kalo terlambat bisa sampe berjam-jam dan itu terjadi setiap minggu. Dan dengan alasan yang sama. Lupain! Yang penting jam 8 pas. Gue udah duduk manis di kelas. LUPAIN IDEALISME KONYOL LU, KILAN. Mau jadi apa kalau tiap semester selalu dapet nilai E gara-gara masalah terus sama dosen? :’D
#tobaaaaat dah. #plok.








Tapi Rabu ini, gue bener-bener meliburkan diri! :D
Beautiful day. :*

Aku Benci Perayu Ulung

Hai, Perayu
Sajaksajak cinta yang kau persembahkan ternyata hanya bak kepulan asap yang menggumpal kemudian mengurai ke bentangan langit
Menggebu sesaat lalu melebur

Hai, Perayu
Baitbait rindu yang kau kelakarkan ternyata hanya bak ganja yang kau sumpalkan
melayang namun mematikan

Hai, Perayu Ulung di sudut hatiku
Paragrafparagraf indah yang kau susun untukku ternyata hanya bak rayuan maut yang mematikan
Indah namun hantarkan lara yang tiada tara
Bayangmu akan ku kubur dalam sunyi
Kebohonganmu akan ku sematkan dalam hati
Penghianatanmu akan ku patri dalam altar jiwaku

Kau bunuh aku dam ilusi cintamu
Kau bunuh aku dalam semu rindumu
Bunuh saja aku
Remukkan saja hatiku
Injak saja kepingannya menjadi puing
Bunuh !

Selasa, 17 Maret 2015

Curhat Calon Si Guru Agama #latepost

Sebenernya catatan ini nggak penting-penting banget. Makanya, bagi yang males baca karena tulisan ini kepanjangan, boleh ditinggalkan.

Saya adalah mahasiswi Pendidikan Agama semester lima. Pada semester ini, terdapat mata kuliah tentang Kode Etik Keguruan. Banyak hal yang kita bahas dan pelajari tentang konsep keguruan. Dari mulai profil seorang guru, profesionalismenya hingga kompetensi pengembangan diri guru tersebut. Banyak hal yang kita perdebatkan pula. Secara teori, guru itu harus seperti ini, seperti itu, bisa ini, bisa itu, mengerti ini, mengerti itu. Bahkan jika dikaji secara mendalam, seolah-olah guru adalah sosok manusia sempurna yang mana tugasnya memang hanya membimbing, mendidik, mengarahkan, dan me-me-me selanjutnya. Tidak boleh ada celah sedikitpun untuk seorang guru melakukan kesalahan bahkan kekhilafan. Ah! Itu hanya sebatas teori, bukan?

Bukan berarti saya menyepelekan teori tersebut. Okelah… jadi gini…

Minggu ini merupakan pertemuan ke enam. Membahas tentang kompetensi pengembangan guru. Ada pertanyaan yang kurang lebih seperti ini:

“Mengapa masih ada PNS yang sering keluar pada saat jam pelajaran berlangsung. Malah ditemukan di mall, di pasar, atau di manapun yang pasti tidak di dalam kelas. Nah, bagaimana solusinya menurut kelompok anda?!”

Sepertinya menarik.
So what?
Awalnya saya tidak tertarik untuk menjawab. Tapi setelah si penanya dan si pemakalah berdebat panjang, saya mulai tertarik untuk menyudahi perdebatan aneh itu.

“Menurut saya… kita semua sudah tau jawabannya. Terutama Anda yang bertanya.”

Hanya itu? Ya, jawabannya hanya sesimple itu. Saya malas memperumit hal yang sebenarnya tidak rumit sama sekali. Wajar sekali jika si penanya akhirnya emosi mendengar jawaban saya. Mungkin dia merasa saya menyepelekan pertanyaannya. Dia kembali menanggapi jawaban saya.

“Saya tidak terima jika saya dikatakan sudah mengetahui jawabannya. Kita itu kaum intelektual. Yang mana harus mulai memecahkan permasalahan-permasalahan yang mengakar seperti ini.”

Fffhhh… mau tidak mau. Saya harus bicara panjang lebar.

“Di sini, di kelas ini… kita semua adalah calon guru. Kini kita sedang mengkaji teori-teori keguruan yang teramat hebat. Dari mulai mendalami tentang profil seorang guru. Terus cara untuk menjadi guru yang professional dan minggu ini kita mengkaji tentang kompetensi seorang guru yang mana guru harus memiliki kompetensi pedagogik, sosial, kepribadian, dan… lain-lain. Pertanyaan kali ini tidak jauh beda dengan pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari minggu ke minggu. Sebagai kaum intelektual, bagaimana bisa kita hanya membahas satu hal saja harus berminggu-minggu. Apakah tidak ada pemahaman di setiap minggunya? Padahal mata kuliah ini pun menghabiskan tiga SKS dalam satu kali pertemuan.

Guru yang seharusnya menjadi pendidik dan tidak hanya memerhatikan perkembangan peserta didiknya hanya dari segi kognitif saja, sedangkan guru juga berperan penting dalam pembentukan nilai-nilai afektif dalam diri peserta didik. Guru juga harus menguasai metode-metode agar peserta didik tumbuh menjadi manusia yang kreatif dan inovatif. Guru harus bisa menjadi teladan bagi peserta didiknya. Guru juga harus professional dengan memiliki pencapaian akademik, cerdas dan piawai dalam menyampaikan materi. Guru dituntut bahkan dibentuk agar memiliki kepribadian yang baik dan berkualitas. Harus dewasa, arif, berwibawa. Dan… lain-lain. Gosh! Betapa sempurnanya hidup Anda saat Anda menjadi guru. :D

Hanya aja, sering timbul pertanyaan, mengapa pada kenyataannya tidak semua guru seperti yang ada di teori? Dari mulai PNS yang bolos, guru yang tidak professional, guru yang kurang mampu menyampaikan materi bahkan sampai guru yang tidak dihargai oleh peserta didiknya sama sekali. Lantas apa? Bagaimana? Kita harus salto sambil teriak WEW gitu? :D #mulaialay

Ah, Kawaaan…
MARI MENJADI GURU YANG BERKUALITAS UNTUK MASA YANG AKAN DATANG. MARI MENJADI TAULADAN YANG LAYAK BAGI PESERTA DIDIK KITA. AGAR KITA SEDIKIT BANYAKNYA DAPAT BERKONTRIBUSI UNTUK MEMAJUKAN PENDIDIKAN BANGSA.

Permasalahan-permasalahan guru yang sekarang, sudah terlalu banyak solusi yang dikaji namun belum terealisasi dengan baik. Solusi-solusi itu seperti obat kutu air yang nyatanya sulit menyembuhkan hingga ke akarnya meski janji-janji manisnya dapat membasmi hingga ke akar. Padahal sudah ada banyak program yang pemerintah lakukan untuk menyejahterakan guru. “Agar tidak ada guru yang demo dan mogok mengajar karena gajinya kurang layak”.

Pada akhirnya… semua kembali kepada diri kita masing-masing. Jadikan mereka contoh nyata YANG TIDAK MENUTUP KEMUNGKINAN SEBAGIAN DARI KITA MUNGKIN AKAN ADA YANG MENJADI SEPERTI MEREKA KELAK. #nyebursumur
Hahahaha
Tadi nggak sempet ngoceh di kelas. Takut kebablasan sampe subuh. :D

Udah dulu ah! Kalo kecapean mikir, nanti saya cepat tua dan kecantikan saya cepat memudar. =p