Jumat, 29 Juli 2022

KERJAAN BIKIN STRES, INILAH 5 TIPS UNTUK WORKING MOM AGAR LEBIH SANTAI


Untuk kalian yang sering banget merasa stres karena pekerjaan di kantor, coba kita cari masalahnya yuk. Kebayang banget stresnya pas kerjaan numpuk, deadline mepet dan bos yang marah-marah terus bikin pengen healing ke Labuan Bajo ya, Ladies. Apalagi untuk kalian working mom yang di rumah masih harus pegang pekerjaan rumah dan bermain bersama anak. Tapi kepikiran nggak sih bisa jadi, semua hal yang menumpuk itu karena kita yang nggak maskimal me-manage waktu sampe harus lembur dan menyita banyak waktu istirahat kalian. Jangan-jangan stres itu kita yang buat sendiri. Selain merugikan diri sendiri, khawatir juga akan merugikan orang lain.

Berikut 5 tips supaya kerjaan di kantor nggak bikin gila ya, Mom.

1. BANGUN LEBIH PAGI

Bangun sebelum subuh, mempunyai banyak keistimewaan, Ladies. Selain membuat kita memiliki waktu lebih untuk sekedar berolahraga, bangun sebelum subuh juga bisa meningkatkan konsentrasi kita. Kebiasaan bangun sebelum subuh membuat tubuh menjadi lebih sehat karena lebih aktif dibandingkan yang terbiasa bangun siang.

2. MEMBUAT JADWAL HARIAN

Saat weekend tiba, sisihkan waktu untuk mengevaluasi semua kegiatan dalam seminggu terakhir kemudian buat jadwal untuk satu minggu ke depan. Mulai dari bangun tidur, menyiapkan menu sarapan dan makan siang, sampai ke urusan pekerjaan. Untuk yang punya asisten rumah tangga, tetap harus dibiasakan membuat list menu makan untuk keluarga ya, Mom. Agar kita tetap bisa mengontrol asupan gizi anak-anak di rumah. Untuk yang nggak punya asisten, boleh juga sekaligus membuat jadwal mencuci pakaian dan beres-beres rumah untuk seminggu ke depan. Kenapa sih harus terjadwal? Jadwal kegiatan selama satu minggu ke depan akan membuat kita lebih bisa mengefisienkan waktu. Hal-hal apa saja yang harus dikerjakan dan selesaikan, kita bisa melihatnya dengan mudah. Jadi biasakan membuat jadwal untuk diri sendiri untuk mengurangi level stress kita.


3. MEMBUAT LIST PEKERJAAN

Begitu masuk ke kantor langsung hectic. Nggak ada waktu untuk membuat list. Nah, justru itu yang membuat nggak efisien. Kita tetap harus membuat list pekerjaan. Apa saja pekerjaan yang harus dikerjakan hari ini dan coret satu persatu begitu pekerjaan itu selesai. Kalau bos selalu menambah pekerjaan dalam satu waktu, masukkan ke list dan kita bisa lihat mana yang lebih urgent untuk dikerjakan. Hal ini membantu banget lho, Mom. Pekerjaan jadi lebih cepat selesai.

4. MAKAN TEPAT WAKTU

Salah satu yang membuat stres adalah ketika pekerjaan yang harusnya sudah selesai tapi malah banyak kendala sehingga membutuhkan lebih banyak waktu untuk diselesaikan. Nggak jarang pula sampai menyita waktu dan melewatkan jam makan. Itu kebiasaan yang buruk ya, Mom. Apapun yang terjadi, biasakan untuk makan tepat waktu. Hal tersebut bisa membantu kita untuk lebih fokus dan berkonsentrasi saat menyelesaikan pekerjaan.


5. SISIHKAN WAKTU UNTUK "ME TIME"

Mungkin jika kalian mendengar kalimat “Me Time”, konotasinya langsung jalan-jalan, shopping, kuliner, dll. yang membutuhkan banyak budget. Tapi coba deh pikirin lagi. Hal sederhana apa yang bisa membuat kalian lebih rileks dan santai. Sekadar beli eskrim di minimarket, misalnya. Atau melakukan hobi seperti menggambar atau merawat tanaman. Hal-hal tersebut bisa membantu kalian lebih bahagia lho, Mom.

Setiap pekerjaan pasti memiliki banyak tanggung jawab dan konsekuensi. Belum lagi kendala dan lain hal sangat mempengaruhi kestablilan mental kita. Tapi dengan selalu bersyukur, seenggaknya bisa membuat kita lebih lapang ya, Mom.  Selamat mencoba tipsnya yaaa... Happy Mom, Happy Family.

Minggu, 10 Juli 2022

5 ALASAN KAMU HARUS MEMILIH AYLENS SOFTLENS SEBAGAI TEMAN CANTIKMU

Memakai softlens sudah bukan lagi hanya sekadar trend ya, Beauty. Sekarang banyak yang menggunakan softlens sebagai pengganti kacamata karena merasa lebih percaya diri dengan penampilan yang cantik dan menarik. Tapi khawatir nggak sih kalau sampe yang tadinya mau tampil cantik, malah jadi tragedi karena salah pilih softlense? Ngeri banget. Jujur aku selektif banget urusan pilih softlens. Sampe akhirnya ketemu sama Aylens Softlens.

Brand Softlens Korea yang sudah diakui menjadi produk No.1 sejak 2004 ini, bener-bener nyuri perhatian aku karena ada variannya yang cantik banget di mata.


Nah, inilah 5 alasan kenapa kamu harus pilih Aylens Softlens biar mata kamu tetap sehat dan cantik.

1. Terdaftar resmi di Kemenkes RI.

    Poin penting yang pertama ketika menggunakan produk kesehatan adalah, pastikan dulu kalau produk pilihanmu terdaftar di Kemenkes RI ya. Hal ini guna mengetahui seberapa aman produk tersebut untuk digunakan. Pabrik pembuatan Aylens Soflens sudah disertifikasi dan terdaftar resmi di Kemenkes RI loh, Beauty.


2. Aylens Softlens Menggunakan Teknologi Metode Plusierus

    Selain menggunakan bahan premium, Aylens Softlens juga menggunakan Metode Plusierus. Sebuah metode teknologi yang membungkus pigmen warna dan menyisipkannya di bawah bahan lensa untuk menghindari pigmen warna terkena langsung dengan permukaan mata. Dengan kata lain, retina mata kamu aman banget karena terlindungi dari paparan pigmen warna yang ada di dalam softlens.


3. Aylens Memiliki Kadar Air yang Rendah

    Nggak semua softlens yang mengandung banyak kadar air itu berarti baik untuk mata ya. Karena kadar air mata orang Asia tergolong lebih rendah, Beauty. Kalau softlens kamu mengandung banyak kadar air, hal itu bisa menyebabkan dia lebih banyak menyerap kadar air mata kamu. Itu salah satu alasan mengapa mata kering dan iritasi.

4. Banyak Varian dan Warna

    Aylens Softlens punya banyak banget varian dan warna. Semuanya cantik-cantik. Yang aku pakai adalah varian Orion warna Grey. Sesuka itu sama warnanya. Padahal aku tim Brown karena sering merasa malu kalau pakai warna yang mencolok. Tapi Orion Greynya Aylens secantik itu di mata aku.



5. Nyaman Banget

    Nyaman banget digunakan. Biasanya kalau pertama kali pemakaian, ada jeda penyesuaian di mana mata agak blur dan sedikit pusing, Tapi sama Aylens Softlens, langsung jatuh cinta karena langsung ngasih kenyamanan di mata aku.

    Sekian beberapa alasan yang bisa jadi bahan pertimbangan kamu dalam memilih produk softlens ya, Beauty. Tapi jangan lupa, kebersihan softlens dan tangan ketika pemakaian atau ketika sudah tidak dipakai, harus benar-benar dijaga. Karena mata salah satu area sensitif jadi kamu harus hati-hati banget ya.

Luvvv,

Kilan

Sabtu, 28 November 2020

MANGGA(H)

 MANGGA(H)

Oleh Excalyptuse

Suatu ketika datanglah seorang pengelana singgah ke suatu desa, menghadiahkan bibit pohon mangga pada salah satu warga desa yg ia singgahi rumahnya. Sebagai tanda hati karna bersedia menampung dan merawatnya saat dia singgah dirumahnya. Warga desa itu sangat bahagia sekali. Dibantu oleh sang pengelana, ia menanamnya di samping rumahnya. Namun, warga desa itu kecewa mengetahui pengelana tetaplah pengelana, dia hanya singgah, harus melanjutkan perjalanannya. Karena bersedih ditinggal pengelana, warga desa itu pun ikut pergi ke kota mencoba melupakan kesedihannya, meninggalkan pohon mangga yang mencoba tumbuh. 

Pohon mangga itu cuma pohon, berbekal satu daun yg mekar dan batang muda hijau kecilnya, pohon mangga itu mencoba bertahan, ingin tumbuh. Hingga suatu ketika tetangga desa warga itu melihatnya. Tetangga warga desa itu pun terharu, hingga tangannya, kakinya, perasaanya, dan hatinya menggerakkan dirinya untuk merawat pohon mangga itu, sembari berjanji hanya akan mengambil buah yg jatuh saja apabila buah pohon mangga itu berbuah.

Dan ya, pohon mangga itu akhir tumbuh tinggi dan rindang, bahkan berbuah mangga yg besar dan ranum. Tetangga desa itu bahagia melihat kenyataan pohon mangga itu bukan hanya mampu berdiri kuat dia atas akarnya menahan segala cuaca baik siang dan malam. Tapi pohon mangga itu pun sudah bisa berbuah. Dia bahagia menangis terharu.

Suatu hari warga desa itu kembali, bukan untuk pulang, tapi sekadar melihat peninggalan dirinya yg dia tinggalkan saat dia pergi dulu. Tidak ada apa-apa, hanya kenangan dan satu pohon mangga besar rimbun dan berbuah sangat banyak di samping rumahnya. Dia tertegun memandangnya. Bagaimana bisa pohon itu tumbuh sebegitu suburnya?

Tetangga warga desa itu menyambutnya. Memperlihatkan pohon mangga peninggalan warga desa itu. Menceritakan semua kisah penuh rasa saat dia merawat pohon mangganya, hingga bagaimana dia memperlakukan pohon mangga itu seperti 'anaknya sendiri'. 

Warga desa hanya diam sampai tiba-tiba mengambil sebuah karung besar, lalu tergesa-gesa naik ke pohon mangga besar itu. Daunnya jatuh beserakan. Tetangga itu hanya bisa terdiam, mematung melihat warga desa yang dengan sangat kasar mencoba meraih, mengambil semua buahnya sampai mematakan ranting-ranting muda pohon mangga. Dia tertegun, apa yg sedang warga desa itu lakukan?!

Warga desa tak bergeming, dia merasa bahwa dialah pemilik sah pohon mangga yang ada di samping rumahnya. Dia lah yg menanamnya. Hanya dia yg berhak memanen buahnya.

Tetangga warga desa itu pun tersentak. Ya pohon mangga itu memang bukan miliknya. Dia hanya merawatnya. Dan itu pun tanpa ada perintah dari siapa pun, hanya berbekal perasaannya saja. Dia  tertunduk lalu pulang.


Setelah warga desa itu puas menaiki pohon mangga dan memanen buahnya, lantas dia membangun pagar tinggi di sekeliling pohon mangga itu bahkan membuat papan plang tulisan besar di bawah pohonnya.

"Ini adalah anakku".


Minggu, 21 Juni 2020

JANGAN PERNAH JATUH CINTA


JANGAN PERNAH JATUH CINTA
OLEH EUIS SHAKILARAYA

Senja merekah di langit kota. Aku memelankan langkah dan berdiam sejenak untuk menikmati warna kemerahan yang indah. Aku menghela napas dan hanya menikmati langit tanpa ingin memikirkan apapun lagi. Bahkan aku sedikit melupakan tumit kakiku yang mulai terasa nyeri karena high heels yang aku pakai.
Hemh... Seperti inikah rasanya? Semenyenangkan inikah? Sudah lama sekali aku mengabaikan kehangatan perasaan ini semenjak hatiku terlalu sibuk dengan hal-hal rumit, seperti mencintai dan menunggu. Jangan pernah jatuh cinta. Karena mencintai seseorang, berarti menyerahkan segalanya. Karena jatuh bersama namun tak dapat bersatu adalah kedunguan terakhir dari nasib dua hati yang terlanjur terjerat cinta.
Langit mulai gelap dan aku hanya dapat tersenyum membayangkan hatiku yang terluka parah. Aku melanjutkan langkah menyusuri jalan perumahan yang baru dibangun dan merupakan jalan pintas menuju rumahku. Kendaraan roda dua dan empat terlihat lalu lalang sesekali. Tak terlalu ramai. Dari jalan inilah aku selalu melihat senja yang sempurna namun tak pernah memiliki kesempatan untuk menikmatinya.
High heelsku mulai mengganggu. Ingin rasanya melepasnya dan berlari sekencang mungkin agar segera sampai di rumah. Seperti inilah aku menjalani hidupku selama ini. Aku akan membiarkan tumitku berdarah dan menahan rasa nyerinya. Berusaha tersenyum sepanjang waktu tanpa ada keberanian untuk melepasnya dan menggantinya dengan sandal atau sepatu yang lebih nyaman. Dress selutut warna maroon yang aku kenakan, tak terlihat mencolok karena aku menutupnya dengan sweater hitam tebal. Jika aku membukanya, maka akan menampilkan dress elegan yang sangat tidak cocok dengan jalanan di depanku. Seharusnya, aku memakainya di dalam sebuah gedung yang sedang merayakan pesta pernikahan. Ah, ya. Aku memang baru menghadiri pesta pernikahan. Senyumku mengembang. Tapi aku tak merasa bahagia sama sekali.
“Aku salah apa?” tanyaku padanya saat itu.
“Aku yang salah. Aku nggak tahu kenapa bisa kayak gini.”
“Aku salah apa?” tanyaku lagi. Dia hanya mengusap wajahnya kasar dan mencoba untuk memegang bahuku. Aku menepisnya.
“Aku salah apa?” airmataku mulai berjatuhan tanpa dapat aku tahan lagi.
“Kamu nggak salah apa-apa. Aku minta maaf. Dia datang begitu aja dan kamu tahu dari dulu aku nggak pernah bisa bener-bener lepas dari dia.”
“Kalau gitu lepasin aku. Kalau aku selama ini hanya menjadi bayang-bayang, lepasin aku.”
“Aku tahu kamu sayang banget sama aku.” Jawabannya membuat dadaku sesak. Aku sangat marah. Tapi aku tak dapat mengekspresikannya. Bagaimana caranya memarahi laki-laki yang sangat aku cintai? Laki-laki yang demi melihat senyum di wajahnya aku bahkan rela untuk melakukan semua hal yang menyakitkan. Aku sudah menyerahkan seluruh hidup dan kepercayaanku kepadanya. Jadi bagaimana caranya marah dan memakinya tanpa menyakiti hatinya?
“Aku sangat marah ke kamu,”
“Aku tahu. Maafin aku, Kila. Maafin aku. Aku mohon maafin aku. Tolong maafin aku.” Dia memelukku erat.
Tubuhku gemetar menahan marah. Harusnya aku tampar wajahnya berkalikali dan pergi meninggalkannya. Namun aku memutuskan membuang harga diriku dan terisak dengan hina di hadapannya. Aku melepaskan pelukannya dan menggenggam jemarinya erat.
“Jangan tinggalin aku. Jangan tinggalin aku. Jangan tinggalin aku.” Aku mengucapkannya dengan suara bergetar.
Jangan pernah jatuh cinta. Karena mencintai seseorang hanya membuatmu lemah. Aku yang seharusnya marah, kini memohon kepadanya untuk tidak ditinggalkan. Aku sangat mencintainya sampai tak dapat menyingkirkan bayangan aku bisa saja mati tanpanya. Dia kembali memelukku erat.
“Jangan tinggalin aku. Aku mohon jangan pernah tinggalin aku. Jangan lepasin tangan aku. Aku nggak akan bisa tanpa kamu. Aku nggak akan bisa kalau selain kamu.” Aku terus menerus memohon.
Sore itu, aku habiskan untuk menangis di pelukannya. Hingga lelap sejenak dan kembali terjaga. Menatap wajahnya. Memastikan hatiku yang sudah pecah, dapat kembali rekat jika aku bertahan bersamanya. Melihat tatapannya yang sangat teduh dan seperti tak merasa bersalah setelah menyiksa hatiku habis-habisan, aku kembali marah.
Airmataku kembali merebak. Dia bukan lagi laki-laki yang aku kenal. Dia bukan lagi seseorang yang dulu pernah mengisi hari-hariku dengan berbagai rasa. Perasaan ini asing. Dadaku mulai sesak. Aku menyadari betul bahwa aku sudah kehilangan. Bahwa sosoknya sudah berubah dan tak dapat lagi aku percaya. Aku menahan isak sekuat tenaga. Lengannya kembali meraihku dan memelukku erat. Tangisanku semakin kencang. Bagaimana bisa aku harus kehilangannya?
Ponselku berdering lantang. Aku terhenyak.
“Hemmh. Ya. Kenapa? Masih di jalan. Sebentar lagi. Mobil aku masih aku parkir di gedung. Aku pulang naik taksi dan turun di perumahan belakang. Iya... iya.”
Mama.
Menelepon karena sangat mengkhawatirkan aku. Aku tersenyum. Tapi hatiku tak sedang bahagia sama sekali. Aku sudah lelah menangis. Mulai sekarang, dalam keadaan apapun, aku hanya akan tersenyum. Aku tak ingin melakukan apapun lagi selain menjalani hidupku dengan damai dan diam tanpa keributan sampai entah kapan Tuhan akan memberikanku kekuatan untuk menghilang. Membuih bersama ombak di lautan atau berhembus seperti angin sore yang mendamaikan. Gambaran hidupku di masa depan, atau bahkan besok pagi, sudah hancur berantakan. Aku tak dapat menhannya lagi.
Ponselku berdering kembali. Mika, sahabatku.
“Hemm...”
“Kamu udah gila? SIAPA YANG KASIH KAMU IJIN DATENG KE PERNIKAHAN DIA?”
“Harus punya ijin?”
“Di mana sekarang?”
“Jalan.”
“Jalan mana?”
“Deket rumah. Tenang aja. Nggak aneh-aneh kok.”
“Kabarin kalau udah di rumah.”
“Emmm.”
Siapa yang kasih ijin?
Senyumku mengembang. Tapi tak lucu sama sekali. Sejak kapan datang ke pesta pernikahan seseorang membutuhkan sebuah ijin? Mika ada-ada saja. Jangan pernah jatuh cinta. Karena mencintai seseorang, berarti harus menggantinya dengan banyak kehilangan.
Pagi itu, saat aku meluangkan waktu untuk datang ke rumahnya, aku tak pernah menyangka akan menjadi yang terakhir kalinya aku melihatnya sebagai lelakiku. Sakit sekali mengingat bagaimana hati yang teramat mencintainya, harus merelakannya demi kebahagiaannya.
“Kamu nggak bahagia sama aku?” tanyaku saat dia memulai ritual paginya. Mengerjakan pekerjaan kantor di depan laptopnya sembari sesekali menyeruput kopi yang aku buatkan. Dia mengalihkan pandangannya dari laptop dan menatapku.
“Apa aku terlihat nggak bahagia sama kamu selama ini?”
“Lalu kenapa?”
“Aku nggak nyangka kalau dia akhirnya datang lagi ke kehidupan aku, Kila. Setelah akhirnya aku bisa ngelajanin semuanya sama kamu. Nerima begitu banyak kasih sayang dari kamu. Aku nggak pernah tahu kalau ternyata perasaan aku ke dia, nggak pernah berubah. Aku minta maaf.”
Saat itu, menyakitkan sekali mendengar ucapannya. Seharusnya, aku sudah memakinya dengan perkataan kasar. Memanggilnya bangsat atau bajingan. Tapi aku tak bisa melakukannya. Karena bajingan di hadapanku, adalah laki-laki yang sangat aku cintai. Aku menghela napas berat.
“Lalu menurutmu, aku harus bagaimana?”
“Hah?”
“Aku harus gimana kalau ternyata nggak bisa lepasin kamu? Aku harus gimana biar dia paham kalau kamu udah milik aku?” tanyaku sembari menatapnya dengan tajam.
“Jangan rusak diri kamu, Kila.”
“Kamu yang udah ngerusak segalanya.”
“Oke, aku salah. Aku yang salah.”
“Lalu apa gunanya kamu minta maaf seribu kali tanpa kamu bisa ninggalin dia dan memperbaiki semuanya sama aku. Apa gunanya?”
“Kila, please...”
“Sekarang liat aku. Jawab pertanyaan aku dengan tegas. Kamu mau hidup sama aku?”
“Mau. Sangat mau.”
“Kamu nggak bisa berhenti melakukan semua kegilaan ini sama dia?”
“Nggak bisa,”
“Aku pergi.”
“Ta... pi. Kila...”
“Kamu lebih baik nikahin dia.”
Saat itu pasti aku sudah sangat kehilangan akal. Aku memintanya menikahi perempuan itu. Perempuan yang pernah bertahun-tahun yang lalu menemaninya. Aku pasti sudah sangat putus asa. Jangan pernah jatuh cinta. Karena mencintai seseorang, berarti harus merelakan segalanya.
Kini aku hanya perempuan yang mengantarkan laki-laki satu-satunya di hidupku menikah dengan perempuan lain. Aku hanya merelakan dia yang sangat aku cintai, untuk bahagia bersama perempuan lain. Aku tersenyum. Tapi sudah tak ada kebahagiaan yang tersisa di dalam hatiku. Aku mengatakan turut bahagia. Namun tak pernah berharap dia dan perempuannya akan bahagia sama sekali.
Saat aku tak lagi memiliki kepercayaan kepada semesta, dia datang dan meyakinkanku bahwa segalanya akan lebih mudah jika dilalui berdua. Setelah aku dibuat sangat jatuh cinta kepadanya, lantas dia kembali ke pelukan masalalunya dan meninggalkanku begitu saja. Kasih sayang yang teramat besar, membunuhku perlahan. Aku tersenyum. Melihat pintu rumahku sudah dekat dari ujung jalan. Mama sudah menungguku di depan rumah dan aku bahkan tak dapat melihat kehidupan macam apa yang akan aku jalani tanpa dia. Langkahku semakin rapuh. Aku memeluk mama erat dan tersenyum.
“Ma, aku bisa senyum. Tapi aku nggak bahagia sama sekali.”
Mama terisak. Tangisnya lebih kencang daripada saat aku menangis memohon padanya agar tak ditinggalkan.
“Aku nggak mau hidup tanpa dia. Aku nggak mau apa-apa lagi, Ma.”
Tangis mama semakin pecah. Aku menepuk punggungnya dan tersenyum. Melepaskan pelukannya dan menggenggam jemarinya erat.
“Ayo masuk. Di luar dingin.”
Jangan pernah jatuh cinta. Karena mencintai seseorang, berarti menyerahkan segalanya.

Kamis, 06 Desember 2018

SAKIT

Sebuah cerpen oleh,
Euis Shakilaraya




Aku memandangi laptop yang masih menyala sejak dua jam yang lalu. Tak ada satu kata pun yang dapat aku tulis. Rasanya seperti pikiranku berhenti pada satu titik yang bahkan aku tak mampu menggambarkannya. Aku menoleh ke arah jam dinding yang tepat menunjukkan pukul 3 dini hari. Bagaimana aku dapat menyambut hari esok dengan senyum secerah matahari. Sedangkan bekal untuk menghadapinya, belum selesai sama sekali. Aku merebahkan tubuhku dan membiarkan penat yang sedari pagi menggangguku sedikit mengurai.

"Saya sayang sama kamu. Tapi sebaiknya kita nggak perlu punya hubungan lebih dari sekedar temen, Ra." Seperti itu kirakira perkataan Gio padaku saat kami sedang sarapan bersama di kantin kantor. Saat itu aku tak dapat mengangguk atau menggeleng. Perkataannya membuatku kaget dan hanya satu hal yang membuatku berteriak kencang dalam hati,

"Gue diputusin? Tapi kenapa?"

Sayangnya, pertanyaan itu tertahan di tenggorokan. Aku bahkan tak mampu menyelesaikan sarapanku. Satusatunya hal yang dapat aku selesaikan dengan cepat adalah pekerjaanku. Karena seharian penuh yang aku pikirkan hanyalah bagaimana caranya aku segera enyah dari hadapan Gio. Aku bangkit dan kembali menatap laptopku.

"Ah, sial. Ga bisa nulis sama sekali."

Aku menyerah dan mematikan laptop. Aku menggulung tubuhku dengan selimut tebal yang biasanya sangat nyaman. Tapi tidak untuk malam ini. Aku pikir, aku sudah terbiasa dengan siklusnya. Didatangi lantas ditinggalkan. Dicintai lantas dicampakkan. Aku hampir selalu baikbaik saja. Tapi kenyataan bahwa hal itu masih mengganggu, membuatku menggigil hebat. Mengapa Gio memilih untuk pergi sedangkan tidak ada masalah yang terjadi. Semuanya baikbaik saja. Apa memang sedang ngetrend meninggalkan seseorang saat tak ada masalah apapun? Aku semakin menenggelamkan tubuhku ke dalam selimut. Satu dua tetes airmata mulai membuat ujung bantalku basah. Dengan tak tahu malu, aku meraih handphoneku dan mengirimkan sebuah chat melalui aplikasi Line ke Gio.

"Gi... sudah bosan sama aku?"

Tak lama kemudian, tanda R menunjukkan bahwa chatku telah dia baca. Dia belum tidur ternyata.

"Iya, Ra."
"Sudah nggak bisa samasama lagi?"
"Maap ya, Ra."
"Tapi aku sayang sama kamu."
"Saya juga."
"Tapi kenapa? Kalau sekedar bosan, kamu boleh menjeda beberapa waktu. Ga perlu hubungi aku. Banyak cara Gi."
"Saya hanya sudah nggak bisa aja, Ra."
"Iya, tapi aku perlu tahu alasannya."
"Sederhana, sudah tidak bisa."

Dadaku terasa penuh dan mataku memanas. Bagaimana bisa seseorang yang sudah bersama denganku hingga dua tahun, begitu tega mengucapkan kalau dia sudah tidak bisa menjalani hubungan lagi denganku.

"Sudah ada yang lain Gi?"
"Jangan ngaco! Baru pagi tadi. Mana mungkin saya sudah nemu yang lain."
"Dari kemarinkemarin mungkin?"
"Saya nggak seburuk itu, Ra."
"Ya lalu apa? Kasih aku alasan paling masuk akal biar aku bisa menerima."
"Ya sederhana, saya sudah nggak bisa."

Aku menangis hebat. Mengapa rasanya begitu sakit? Padahal aku tak pernah menjalani sepenuh hati. Tak pernah menyerahkan hidupku padanya. Bahkan aku tak pernah bergantung padanya. Tapi mengapa sesakit ini saat dia memilih pergi? Harusnya aku tetap seperti biasa. Seperti sebelum dia masuk ke kehidupanku. Tapi tidak bisa. Tubuh, pikiran dan hatiku tak dapat menerima semua yang terjadi. Aku menangis sejadijadinya. Hanya berharap kalau besok semuanya akan baikbaik saja.

***

Shit!
Kesiangan.

"Ma, aku langsung yak." Aku sibuk menyiapkan laptop dan merapikan rok, rambut serta bajuku. Ah ya, sepatuku.
"Pelanpelan aja Ra. Masih jam enam."
"Aku ada presentasi, Ma. Mana bahannya belum aku tulis. Bagaimana doooong?"

Aku panik sembari memakai flat shoes warna hitamku. Setelahnya, aku langsung berlari.

"Nggak bawa mobil?" Teriak mama.
"Ojek aja Ma!"
"Yaampun dari Depok ke Jakarta naik ojek?!"
"Yaampun ya Ojek ke stasiun lalu lanjut KRL lah maaaaa. Assalamualaikum."

Aku sudah di luar rumah dan tak lagi mendengar teriakan mama. Yang benar saja. Sebesar apapun gajiku, aku tidak sanggup membayar ojek perjalanan dari rumah ke kantor. Sudah hilang akalku kalau itu sampai terjadi.

***

"Gi..."
Aku menyapa Gio. Gio tersenyum dan menoleh ke padaku.

"Eh, Ra."

Eh, Ra?

"Makan siang?"
"Iya. Kamu?"
"Nggak deh. Kamu mau aku temenin?" Tanyaku. Gio tersenyum.
"Saya sendiri aja, Ra."

Saya sendiri aja, Ra?!

Aku terpaksa mengangguk. Hatiku kembali terasa sakit. Aku mengikat rambutku sembarang dan menenggelamkan wajahku di meja. Hari ini kacau sekali.

"Sarah!"

Seperti ada yang memanggil nama lengkapku. Aku menoleh dengan berat.

"Hmm?"
"Sumpah lu kacau banget hari ini." Eveline. Satu tim. Tapi seperti musuh. Dia tidak menyukai kesempurnaanku dalam bekerja.

"Terimakasih, Eveline." Hanya itu yang mampu keluar dari mulutku.
"Ada yang lebih kacau nggak dari presentasi di depan klien, tanpa memiliki bahan presentasi sama sekali?"
"Terimakasih tim hebatqu. Karena sudah membuat materi cadangan." Lagi, aku merespon datar dan kembali menenggelamkan wajahku ke atas meja.

Eveline tertawa. Tertawa puas.

"Emang lu ABG?" Tanya Eveline. Aku menoleh malas.
"Hah?"
"Ya emang lu ABG yang kalau diputusin langsung galau begitu?"
"Siapa yang bilang gue diputusin?"
"Seluruh kantor juga tau, Ra."

Wajahku memerah.

"Jadi seluruh kantor udah tahu padahal guenya nggak tahu?"
"Lu nggak tahu atau menolak tahu?"

Aku menatap Gio tajam dari kejauhan. Bagaimana mungkin rumornya menyebar begitu cepat seperti kilatan cahaya. Padahal aku belum menerima keputusan sepihak Gio.
"Belajar lebih peka, Ra. Kayaknya apapun yang terjadi di dunia ini, cuma lu doang yang seminggu kemudian baru tahu. Coba gue tanya, lu tahu nggak siapa pacarnya Lucinta Luna?"
"Ya mana gue tahu, Eve."
"Tuh kan. See? Cuma lu doang yang nggak tahu." Eveline menahan tawa dan meninggalkanku sendirian.

Lebih peka?

Aku mengacak rambutku kesal kemudian bangkit dan menghampiri Dian. Kami satu tim di beberapa project iklan yang dimenangkan perusahaan. Tidak terlalu dekat untuk menceritakan masalah pribadi. Tapi cukup dekat untuk saling menyapa dan menanyakan sesuatu.

"Di, gue mau nanya."
"Apa?"
"Lu tahu pacarnya Lucinta Luna?"
"Ya mana gue tau, Ra. Nggak penting banget lu."

EVELINE!

***

"Aku diputusin sama Gio, Ma."
"Mama lebih kaget kalau kamu bilang Gio mau nikahin kamu."
Aku memberengut.
"Aku tuh nggak sedih banget. Tapi cuma nggak terima aja, Ma. Diputusin sepihak. Padahal nggak pernah ada masalah."
"Udah tanya ke dia?"
"Sudaaaaah. Dia cuma bilang, saya udah nggak bisa, Ra. Tahu ah!"

Mama tampak sedang berpikir. Tangannya terampil memotong wortel dan buncis. Aku membantu mama menghabiskan wortelnya saja. Tidak bermaksud membantu sama sekali.

"Sebenernya memang aneh juga Gio bertahan 2 tahun sama kamu."
"MA!"
"Udah sana mandi. Terus sarapan. Anter mamah kondangan."
"Ya Allah ngajak kondangan mulu tiap weekend. Kapan ngajak liburannya?"

Mama mendorongku pelan. Aku segera berjalan menuju kamarku.

Lebih peka?
Bagaimana, sih?
Semacam harus menanyakan setiap waktu apakah dia sudah makan atau belum?
Keadaannya atau apa?

***

"Morning, Team..." Aku menyapa seluruh anggota timku dengan sangat ceria. Eveline, Dian, Arga, Feni, Jessi, dan Feri. Mereka menatapku heran.

"Jangan bilang kalau lu nggak bawa materi sama sekali hari ini. Jangan sampe gue julukin ketua tim nggak bertanggung jawab."

Eveline. Seperti biasa. Menyerangku secara brutal. Hari ini akan aku biarkan karena aku tak ingin merusak pagi yang indah milikku.

"Nggak. Gue cuma ada sedikit info buat lu, Eve."
"Apaan?"
"Lu dan gue dapet tugas kantor ke Surabaya," ucapku.
"Jauh amat. Mau ngapain?"
"Big boss ada urusan di sana. Ngajakin semua ketua tim untuk ikut."
"Ya terus hubungannya sama gue apaan? Kan lu ketua timnya."
"Ya justeru karena gue ketua tim. Jadi gue memutuskan secara otoriter untuk menyiksa sekaligus memaksa lu untuk ikut bareng gue ke Surabaya." Aku tertawa puas. Diiringi helaan napas dari semuanya. Semua anggota tim.

"Ra, bisa ngobrol dulu sebentar?"

Tiba-tiba Gio sudah ada di belakangku. Aku tersenyum.

"Bisa, Gi. Kenapa?"
"Ikut saya sebentar."

Aku mengikuti langkah Gio. Dia mengajakku bicara di lorong panjang menuju lift. Sepi, memang. Tapi ada apa?

"Kenapa, Gi?"
"Saya nggak bisa kayak gini."
"Maksud kamu?"
"Saya sayang sama kamu," ucapnya. Riak wajahnya terlalu serius. Tidak seperti Gio yang biasanya. Dadaku rasanya sesak sekaligus degubnya tak beraturan. Mataku serasa memanas karena betapa Gio kembali mengingatkanku bahwa aku masih sangat meyayanginya namun tak berdaya. Dia menginginkan mengakhiri segalanya.

"Aku juga. Tapi... maksudnya bagaimana, Gi?"
"Saya sayang sama kamu. Susah payah untuk berhenti berharap sama kamu. Tapi saya lihat kamu bisa senyum secerah biasanya tanpa terlihat bersedih sama sekali karena hubungan kita selesai."

Aku tertegun.
Dia tidak tahu apaapa. Dia tidak tahu bagaimana sesaknya.

"Tapi aku memang baikbaik aja, Gi."
"Saya nggak baikbaik aja."
"Ya terus kenapa kamu minta putus?"

Gio menghela napas berat. Sangat berat. Hingga aku ikut merasakan bagaimana perasaannya. Begitu tersiksanya kah? Tapi aku sungguh tak mengerti sebenarnya apa masalahnya?

"Saya meeting dulu. Nanti malam pulang pake mobil saya."

Dia berlalu. Aku masih mematung.

Apa besok aku ulang tahun?
Ini semacam dikerjain alaala anak SMA bukan, sih?
Dia kenapa?

***

Gio menepikan mobilnya.
"Saya cuma nggak tahu mau ngajak kamu ke mana untuk ngobrolin hal ini."
"It's okey, Gi."

Aku mengubah posisi dudukku. Tak lagi menghadap ke jalan, melainkan menghadap ke arahnya. Mencari posisi yang nyaman dan tersenyum.

"Ada sesuatu yang perlu aku tahu?" Tanyaku.
"Saya cuma ngerasa kalau hati kamu nggak pernah sungguhsungguh sayang ke saya."

Aku menatapnya heran.

"Alasannya?"
"Kamu nggak pernah benarbenar membutuhkan saya."
"Tunggu... nggak usah mutermuter, Gi. Intinya, ada apa?"
"Saya ngerasa sudah waktunya untuk memperjelas hubungan kita. Saya memikirkan bagaimana cara melamar kamu. Tapi kamu, pernah nggak sekali aja mikirin saya?"

"..."

"Kamu bisa pulang pergi kantor sendiri. Cari makan siang sendiri. Ngurusin ban mobil bocor sendiri. Mesin mogok. Pekerjaan. Apapun kamu lakukan sendirian. Kamu bahkan nggak tahu kan siapa nama lengkap Dian? Kamu juga nggak tahu berapa usia Feri. Kamu bahkan setelah 6 bulan baru tahu kalau saya anak ke dua. Kamu nggak pernah ingin tahu soal keluarga saya. Kamu nggak tahu tepatnya apa pekerjaan kedua orang tua saya. Dua tahun, Ra. Kamu cuma tahu halhal yang kamu lihat aja. Selebihnya, kamu nggak pernah berniat ingin tahu."

Aku tak tahu harus berkata apa. Aku pun tak tahu harus bagaimana untuk menenangkan Gio. Yang jelas, mataku basah. Ada yang menusuknusuk di sana. Perih. Ingatanku seolah kembali dilemparkan ke masamasa di mana aku adalah sosok orang yang paling peduli dengan sekitar. Dan tak membuahkan apapun. Aku begitu tersiksa karena terlalu banyak tahu. Lalu apa salahnya bersikap sedingin ini, demi menjaga stabilitas hidupku sendiri yang bahkan jika hancur. Tak ada satupun yang peduli.

"Gi..." suaraku bergetar.
"Saya menyukai semua hal tentang kamu. Terlepas segimana nggak pekanya kamu ke lingkungan sekitar. Tapi kamu baik. Selama ini saya merasa itu saja cukup. Saya pikir dengan berjalannya waktu, saya akan mendapatkan hati kamu. Perhatian kamu. Tapi saya salah. Saya nggak bisa, Ra."

"Lalu sebenarnya, masalahnya apa?" Aku hampir terisak. Namun, tertahan. Luapannya seperti akan tumpah. Dan bahkan, aku tak pernah ingin sekalipun menunjukkan kepada siapapun bahwa aku kehilangan kendali. Aku menahan perasaanku.

"Masalahnya, saya sangat menginginkan kamu. Tapi saya tahu mustahil meminta kamu untuk berubah. Saya kesiksa, Ra."

Aku meraih tangan Gio. Menggenggamnya erat. Aku benarbenar tak nyaman melihatnya begitu gelisah dan terlihat tersiksa. Entah antara sedih atau marah. Yang jelas, dia sedang meluapkan seluruh isi hatinya.

"Everything is gonna be okey, Gi."
"Nggak. Tanpa kamu." Gio menarik tangannya dan memukul stir pelan.

"Aku sayang sama kamu, Gi. Tapi kalau cara aku menyayangi kamu tidak sesuai dengan yang kamu harapkan, aku bisa apa? Aku sangat sayang sama kamu sampai rasanya aku nggak pernah mau merenggut waktuwaktu berharga kamu hanya untuk sekedar mengantar aku pulang kerja, misalnya. Oke, aku memang kadang tidak tertarik dengan kehidupan orang lain selain yang terlihat oleh aku atau yang menarik perhatianku. Tapi apa itu masalah? It's me, Gi. Kalau hal itu tidak buruk, kenapa harus menjadi masalah?"

Susah payah, aku tidak ingin terisak. Meski air mataku sudah begitu derasnya luruh. Wajah Gio melunak. Aku menegakkan bahuku. Dan menenangkan hatiku.

Bukan Gio orangnya.
Bukan dia.

Nantinya, akan ada seseorang yang tak akan pernah memiliki alasan untuk meninggalkan meskipun ia mampu membuat seribu alasan.

***

"Ma, menjadi sekuat dan semandiri aku, apa buruk?"
"Ada apa?"

Aku memeluk mama erat. Mengistirahatkan lelahku di bahunya. Mataku kembali basah.

"Aku hanyak nggak mau kembali patah hati seperti saat papah ninggalin kita. Aku nggak mau kembali patah hati seperti saat Arkan membatalkan pernikahan aku dan dia. Aku belajar. Untuk tidak perlu terlalu peduli dengan kehidupan orang lain. Aku tidak perlu bergantung kepada siapapun. Aku hanya perlu hidup dengan baik."

Mama menepuknepuk bahuku.

"It's okey, Sarah. Semua akan baikbaik saja. Tidak apaapa."

Aku memeluknya semakin erat. Dan menumpahkan segalanya. Aku harus baikbaik saja. Seperti biasanya.
Iya, seperti biasanya.