Minggu, 21 Juni 2020

JANGAN PERNAH JATUH CINTA


JANGAN PERNAH JATUH CINTA
OLEH EUIS SHAKILARAYA

Senja merekah di langit kota. Aku memelankan langkah dan berdiam sejenak untuk menikmati warna kemerahan yang indah. Aku menghela napas dan hanya menikmati langit tanpa ingin memikirkan apapun lagi. Bahkan aku sedikit melupakan tumit kakiku yang mulai terasa nyeri karena high heels yang aku pakai.
Hemh... Seperti inikah rasanya? Semenyenangkan inikah? Sudah lama sekali aku mengabaikan kehangatan perasaan ini semenjak hatiku terlalu sibuk dengan hal-hal rumit, seperti mencintai dan menunggu. Jangan pernah jatuh cinta. Karena mencintai seseorang, berarti menyerahkan segalanya. Karena jatuh bersama namun tak dapat bersatu adalah kedunguan terakhir dari nasib dua hati yang terlanjur terjerat cinta.
Langit mulai gelap dan aku hanya dapat tersenyum membayangkan hatiku yang terluka parah. Aku melanjutkan langkah menyusuri jalan perumahan yang baru dibangun dan merupakan jalan pintas menuju rumahku. Kendaraan roda dua dan empat terlihat lalu lalang sesekali. Tak terlalu ramai. Dari jalan inilah aku selalu melihat senja yang sempurna namun tak pernah memiliki kesempatan untuk menikmatinya.
High heelsku mulai mengganggu. Ingin rasanya melepasnya dan berlari sekencang mungkin agar segera sampai di rumah. Seperti inilah aku menjalani hidupku selama ini. Aku akan membiarkan tumitku berdarah dan menahan rasa nyerinya. Berusaha tersenyum sepanjang waktu tanpa ada keberanian untuk melepasnya dan menggantinya dengan sandal atau sepatu yang lebih nyaman. Dress selutut warna maroon yang aku kenakan, tak terlihat mencolok karena aku menutupnya dengan sweater hitam tebal. Jika aku membukanya, maka akan menampilkan dress elegan yang sangat tidak cocok dengan jalanan di depanku. Seharusnya, aku memakainya di dalam sebuah gedung yang sedang merayakan pesta pernikahan. Ah, ya. Aku memang baru menghadiri pesta pernikahan. Senyumku mengembang. Tapi aku tak merasa bahagia sama sekali.
“Aku salah apa?” tanyaku padanya saat itu.
“Aku yang salah. Aku nggak tahu kenapa bisa kayak gini.”
“Aku salah apa?” tanyaku lagi. Dia hanya mengusap wajahnya kasar dan mencoba untuk memegang bahuku. Aku menepisnya.
“Aku salah apa?” airmataku mulai berjatuhan tanpa dapat aku tahan lagi.
“Kamu nggak salah apa-apa. Aku minta maaf. Dia datang begitu aja dan kamu tahu dari dulu aku nggak pernah bisa bener-bener lepas dari dia.”
“Kalau gitu lepasin aku. Kalau aku selama ini hanya menjadi bayang-bayang, lepasin aku.”
“Aku tahu kamu sayang banget sama aku.” Jawabannya membuat dadaku sesak. Aku sangat marah. Tapi aku tak dapat mengekspresikannya. Bagaimana caranya memarahi laki-laki yang sangat aku cintai? Laki-laki yang demi melihat senyum di wajahnya aku bahkan rela untuk melakukan semua hal yang menyakitkan. Aku sudah menyerahkan seluruh hidup dan kepercayaanku kepadanya. Jadi bagaimana caranya marah dan memakinya tanpa menyakiti hatinya?
“Aku sangat marah ke kamu,”
“Aku tahu. Maafin aku, Kila. Maafin aku. Aku mohon maafin aku. Tolong maafin aku.” Dia memelukku erat.
Tubuhku gemetar menahan marah. Harusnya aku tampar wajahnya berkalikali dan pergi meninggalkannya. Namun aku memutuskan membuang harga diriku dan terisak dengan hina di hadapannya. Aku melepaskan pelukannya dan menggenggam jemarinya erat.
“Jangan tinggalin aku. Jangan tinggalin aku. Jangan tinggalin aku.” Aku mengucapkannya dengan suara bergetar.
Jangan pernah jatuh cinta. Karena mencintai seseorang hanya membuatmu lemah. Aku yang seharusnya marah, kini memohon kepadanya untuk tidak ditinggalkan. Aku sangat mencintainya sampai tak dapat menyingkirkan bayangan aku bisa saja mati tanpanya. Dia kembali memelukku erat.
“Jangan tinggalin aku. Aku mohon jangan pernah tinggalin aku. Jangan lepasin tangan aku. Aku nggak akan bisa tanpa kamu. Aku nggak akan bisa kalau selain kamu.” Aku terus menerus memohon.
Sore itu, aku habiskan untuk menangis di pelukannya. Hingga lelap sejenak dan kembali terjaga. Menatap wajahnya. Memastikan hatiku yang sudah pecah, dapat kembali rekat jika aku bertahan bersamanya. Melihat tatapannya yang sangat teduh dan seperti tak merasa bersalah setelah menyiksa hatiku habis-habisan, aku kembali marah.
Airmataku kembali merebak. Dia bukan lagi laki-laki yang aku kenal. Dia bukan lagi seseorang yang dulu pernah mengisi hari-hariku dengan berbagai rasa. Perasaan ini asing. Dadaku mulai sesak. Aku menyadari betul bahwa aku sudah kehilangan. Bahwa sosoknya sudah berubah dan tak dapat lagi aku percaya. Aku menahan isak sekuat tenaga. Lengannya kembali meraihku dan memelukku erat. Tangisanku semakin kencang. Bagaimana bisa aku harus kehilangannya?
Ponselku berdering lantang. Aku terhenyak.
“Hemmh. Ya. Kenapa? Masih di jalan. Sebentar lagi. Mobil aku masih aku parkir di gedung. Aku pulang naik taksi dan turun di perumahan belakang. Iya... iya.”
Mama.
Menelepon karena sangat mengkhawatirkan aku. Aku tersenyum. Tapi hatiku tak sedang bahagia sama sekali. Aku sudah lelah menangis. Mulai sekarang, dalam keadaan apapun, aku hanya akan tersenyum. Aku tak ingin melakukan apapun lagi selain menjalani hidupku dengan damai dan diam tanpa keributan sampai entah kapan Tuhan akan memberikanku kekuatan untuk menghilang. Membuih bersama ombak di lautan atau berhembus seperti angin sore yang mendamaikan. Gambaran hidupku di masa depan, atau bahkan besok pagi, sudah hancur berantakan. Aku tak dapat menhannya lagi.
Ponselku berdering kembali. Mika, sahabatku.
“Hemm...”
“Kamu udah gila? SIAPA YANG KASIH KAMU IJIN DATENG KE PERNIKAHAN DIA?”
“Harus punya ijin?”
“Di mana sekarang?”
“Jalan.”
“Jalan mana?”
“Deket rumah. Tenang aja. Nggak aneh-aneh kok.”
“Kabarin kalau udah di rumah.”
“Emmm.”
Siapa yang kasih ijin?
Senyumku mengembang. Tapi tak lucu sama sekali. Sejak kapan datang ke pesta pernikahan seseorang membutuhkan sebuah ijin? Mika ada-ada saja. Jangan pernah jatuh cinta. Karena mencintai seseorang, berarti harus menggantinya dengan banyak kehilangan.
Pagi itu, saat aku meluangkan waktu untuk datang ke rumahnya, aku tak pernah menyangka akan menjadi yang terakhir kalinya aku melihatnya sebagai lelakiku. Sakit sekali mengingat bagaimana hati yang teramat mencintainya, harus merelakannya demi kebahagiaannya.
“Kamu nggak bahagia sama aku?” tanyaku saat dia memulai ritual paginya. Mengerjakan pekerjaan kantor di depan laptopnya sembari sesekali menyeruput kopi yang aku buatkan. Dia mengalihkan pandangannya dari laptop dan menatapku.
“Apa aku terlihat nggak bahagia sama kamu selama ini?”
“Lalu kenapa?”
“Aku nggak nyangka kalau dia akhirnya datang lagi ke kehidupan aku, Kila. Setelah akhirnya aku bisa ngelajanin semuanya sama kamu. Nerima begitu banyak kasih sayang dari kamu. Aku nggak pernah tahu kalau ternyata perasaan aku ke dia, nggak pernah berubah. Aku minta maaf.”
Saat itu, menyakitkan sekali mendengar ucapannya. Seharusnya, aku sudah memakinya dengan perkataan kasar. Memanggilnya bangsat atau bajingan. Tapi aku tak bisa melakukannya. Karena bajingan di hadapanku, adalah laki-laki yang sangat aku cintai. Aku menghela napas berat.
“Lalu menurutmu, aku harus bagaimana?”
“Hah?”
“Aku harus gimana kalau ternyata nggak bisa lepasin kamu? Aku harus gimana biar dia paham kalau kamu udah milik aku?” tanyaku sembari menatapnya dengan tajam.
“Jangan rusak diri kamu, Kila.”
“Kamu yang udah ngerusak segalanya.”
“Oke, aku salah. Aku yang salah.”
“Lalu apa gunanya kamu minta maaf seribu kali tanpa kamu bisa ninggalin dia dan memperbaiki semuanya sama aku. Apa gunanya?”
“Kila, please...”
“Sekarang liat aku. Jawab pertanyaan aku dengan tegas. Kamu mau hidup sama aku?”
“Mau. Sangat mau.”
“Kamu nggak bisa berhenti melakukan semua kegilaan ini sama dia?”
“Nggak bisa,”
“Aku pergi.”
“Ta... pi. Kila...”
“Kamu lebih baik nikahin dia.”
Saat itu pasti aku sudah sangat kehilangan akal. Aku memintanya menikahi perempuan itu. Perempuan yang pernah bertahun-tahun yang lalu menemaninya. Aku pasti sudah sangat putus asa. Jangan pernah jatuh cinta. Karena mencintai seseorang, berarti harus merelakan segalanya.
Kini aku hanya perempuan yang mengantarkan laki-laki satu-satunya di hidupku menikah dengan perempuan lain. Aku hanya merelakan dia yang sangat aku cintai, untuk bahagia bersama perempuan lain. Aku tersenyum. Tapi sudah tak ada kebahagiaan yang tersisa di dalam hatiku. Aku mengatakan turut bahagia. Namun tak pernah berharap dia dan perempuannya akan bahagia sama sekali.
Saat aku tak lagi memiliki kepercayaan kepada semesta, dia datang dan meyakinkanku bahwa segalanya akan lebih mudah jika dilalui berdua. Setelah aku dibuat sangat jatuh cinta kepadanya, lantas dia kembali ke pelukan masalalunya dan meninggalkanku begitu saja. Kasih sayang yang teramat besar, membunuhku perlahan. Aku tersenyum. Melihat pintu rumahku sudah dekat dari ujung jalan. Mama sudah menungguku di depan rumah dan aku bahkan tak dapat melihat kehidupan macam apa yang akan aku jalani tanpa dia. Langkahku semakin rapuh. Aku memeluk mama erat dan tersenyum.
“Ma, aku bisa senyum. Tapi aku nggak bahagia sama sekali.”
Mama terisak. Tangisnya lebih kencang daripada saat aku menangis memohon padanya agar tak ditinggalkan.
“Aku nggak mau hidup tanpa dia. Aku nggak mau apa-apa lagi, Ma.”
Tangis mama semakin pecah. Aku menepuk punggungnya dan tersenyum. Melepaskan pelukannya dan menggenggam jemarinya erat.
“Ayo masuk. Di luar dingin.”
Jangan pernah jatuh cinta. Karena mencintai seseorang, berarti menyerahkan segalanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar