RE
Shakilaraya
Aku tak pernah tahu bagaimana rasanya hati yang patah lantas membaik. Yang aku tahu, dia membaik dengan cara yang aneh. Memperbaiki lukanya dengan cara yang gila. Segalanya tak pernah kembali utuh. Hati yang patah hingga puingnya berserakan, tidak akan pernah kembali menjadi hati yang sama. Dia dapat kembali menyatu. Namun, tidak merekat. Itu hanya sebagian kecil dongeng yang diocehkan Re setiap kami memiliki kesempatan untuk saling melempar kata. Saling bercengkrama. Saling melepas rindu yang entah apa namanya masih rindu jika sekedar menatap matanya secara langsung saja aku belum pernah. Aku benar-benar membencinya. Sudah enam bulan terakhir ini, kehidupanku hanya memiliki satu tema. Kasmaran, mungkin. Menyebalkan. Re telah mengacaukan dinding tebal duniaku. Dia dengan sikap tak acuhnya selalu mampu memberikan energi baru pada hidupku yang begitu-begitu saja. Pernah suatu ketika saat aku berhenti mengiriminya pesan, dia meneleponku. Kemudian memporak-porandakan kembali semuanya. Aku teramat lelah dengan perasaan yang mulai tumbuh untuk dirinya. Di batas lelah.
“Ray, ini Re.”
“I know. Nomormu ada di kontak teleponku.”
“Eh, iya ya?”
“Ada apa? Aku sibuk.”
“Kamu tahu kalau nomor teleponmu berhenti mengirimiku pesan sejak tiga hari yang lalu?”
Aku hampir tertawa mendengar pertanyaannya. Namun aku berusaha berbicara dengan nada bicaraku yang seperti biasanya.
“Oya?”
“Nah, tuh kan. Kamu nggak tahu apa-apa soal kelicikan dan konspirasi ini. Aku tahu ada yang nggak beres. Makanya aku telepon. Aku juga heran, Ray. Udah tiga hari ini nggak ada pesan masuk dari nomormu. Aku nggak percaya kalau kamu yang berhenti mengirimiku pesan. Karena kamu tahu betul kalo itu terjadi, duniaku kacau. Aku belum makan dua hari ini. Aku juga nggak bisa melakukan aktifitas apapun. Ini pasti ada ulah pihak ketiga. Semacam kamu udah isi pulsa, tapi orang konternya sengaja bilang kalau jaringannya sedang gangguan. Ini pasti ulah mereka. Aku tahu.”
Selamat datang. Kalian akan benar-benar terganggu membaca kisahnya. Hahaha. Itulah, Re. Tidak akan berhenti bicara. Seolah memang Tuhan menganugerahinya sebuah kehidupan dengan jutaan kata. Aku juga tidak pernah menyangka akan berhenti pada sosoknya yang jauh dari “normal”. Kami benar-benar berada dalam dua kutub yang berbeda. Aku pernah mengira dia memiliki semesta yang sempurna. Keceriaan. Kebahagiaan. Kasih sayang. Karena sosoknya benar-benar memukau. Membuatku tak mampu beranjak meskipun dia sudah mengacaukan duniaku. Aku bahkan harus mengakui kalau justeru aku, senang. Namun ternyata aku salah. Semestanya tak pernah sesempurna yang aku kira. Hidupnya tak pernah semudah yang aku bayangkan. Tapi dia, memang diciptakan Tuhan bukan untuk menjadi perempuan yang biasa-biasa saja. Dia tangguh dan dia bertahan. Bahkan tak ada jejak pedih sama sekali yang aku temukan. Kini, dia justeru menjadi kesempurnaan bagi banyak orang. Termasuk aku. Tuhan memang tidak menakdirkan kehidupan sempurna untuk dirinya. Tapi melalui dirinya, Tuhan menganugerahi kesempurnaan hidup untuk banyak orang.
Dua hari yang lalu, dapat dikatakan menjadi hari terindah sepanjang hidupku. Re datang. Ya, dia benar-benar datang. Hmm, aku harus mulai dari mana? Entahlah. Rasanya satu buku tebal pun tak akan pernah cukup jika aku pakai untuk menjelaskan tentang dirinya. Oke, aku akan memulai dari percakapaan terakhir kami sekitar satu minggu yang lalu sebelum kemarin lusa dia berada di sini. Saat itu Re merengek untuk datang ke tempatku. Aku sungguh tidak setuju dengan ide gilanya.
“Ayolah, Ray. Sehari saja. Atau seminggu.”
“Kamu mau tinggal di mana kalau ke sini? Di penginapan? Atau di mana? Kamu nggak punya sodara di sini, Re.”
“Nggak perlu penginapan. Aku kan punya kamu.”
“Di kontrakanku?”
“Humh, boleh kalo kamu maksa.”
“No, Re. Ini gila.”
“Ayolaaaah. Aku udah pesan tiket kereta. Minggu depan jam empat sore aku sampai stasiun. Kalau kamu nggak jemput dalam dua jam, aku balik lagi.”
Re memutuskan pembicaraan. Bahkan setelah hari itu, dia tidak pernah mengirimiku pesan atau sekedar membalas pesanku. Sial. Dia memang keras kepala. Begitulah, Re. Justeru akan aneh jika dia tiba-tiba melunak dan menyerah akan sesuatu. Dunia serasa mendadak gelap dan cahaya matahari memudar.
Sore saat kedatangan Re, aku benar-benar berantakan. Aku tak tahu harus bagaimana. Meskipun sudah seringkali mendapati salah satu foto manisnya di akun sosial media pribadinya, namun bertemu dengannya? Itu tetap saja membuat debar tidak karuan. Terlebih satu baris pesan masuk dari nomornya membuatku tidak lagi memiliki pilihan.
“Aku bentar lagi sampai, Ray. See you there.”
Akhirnya aku membiarkan saja hatiku yang berbicara. Tak ada yang harus aku khawatirkan. Re sudah sejauh ini. Menempuh perjalanan yang jaraknya ratusan kilometer dari rumahnya hanya demi aku. Tak mungkin aku membiarkan dirinya kembali pulang dengan penuh kekecewaan. Tak mungkin.
Dan di sanalah dia. Tergopoh-gopoh mengangkat tas ranselnya yang sepertinya sangat berat. Dia menggendong tas ranselnya. Dan memilih untuk duduk kembali demi membenarkan tali sepatunya. Dia belum melihatku yang sudah menunggunya di pintu kedatangan. Dia masih sibuk dengan sepatu dan rambutnya. Entah apa yang harus aku katakan. Dia benar-benar, indah. Dari kejauhan pun aku sudah dapat melihat bening matanya. Dan akhirnya, keajaiban itu ada. Mata kami bertemu. Demi Tuhan. Itu adalah hal yang tidak akan pernah dapat aku lupakan. Dia terlihat memekik dan menubruk tubuhku. Aku meraihnya dan memeluknya erat. Berharap sedikit mengurangi lelahnya karena telah menempuh perjalanan panjang.
“Ray... kirain nggak bakal dateng.” Dia melepaskan diri dari pelukanku. Tersenyum. Aku langsung menarik tas ranselnya.
“Biar aku yang bawa.”
“Dih, nggak mau. Nanti kamu bawa kabur barang-barang aku,” ucapnya dengan penuh tatapan curiga seolah aku benar-benar tertarik akan barang-barangnya.
“Sekarang, satu-satunya hal yang pengen banget aku bawa kabur ya kamu, Re. Bukan barang-barangmu,” ucapku menggandeng jemarinya untuk menyebrang. Tak terdengar lagi suara Re. Dia terdiam.
Sore itu, merupakan hari paling ramai di hidupku. Bukan hanya ramai oleh suara Re yang tidak pernah berhenti bicara, pun ramai oleh kegaduhan yang muncul dari hatiku. Ada sesuatu yang tidak beres. Aku tak tahu itu apa sampai malam harinya, aku tahu jawabannya. Aku mencintai Re.
Aku sedang merapikan tempat tidur untuknya. Kemudian mendengar dia berbicara di telepon dengan seseorang. Hmmm, meskipun aku tahu dia sedang berbicara dengan siapa, aku hanya malas menyebut nama laki-laki itu. Tiba-tiba suara Re lenyap. Aku langsung berhenti merapikan kamar dan keluar untuk melihat keadaannya. Dan apa yang aku lihat, adalah hal yang menyakitkan. Aku melihat Re terduduk di karpet depan televisi. Cahaya matanya meredup. Hela nafasnya terasa berat. Dan ya Tuhan... buliran bening itu ada di sudut matanya. Tiba-tiba hatiku merasakan sakit yang entah. Sakit yang tanpa tahu jelas apa yang benar-benar menyakitkan. Melihat Re terduduk dalam sedihnya. Atau mendapati aku berdiri dalam ketidakberdayaanku.
“Re...”
Re terlihat tenang menengok kemudian tersenyum. Dia jelas sedang berbohong. Senyumnya tidak lagi mendamaikan.
“Udah beres kamarnya?”
“Uhm... mungkin.”
“Sinilah duduk, Ray. Santai aja. Aku bisa beresin sendiri kalau nanti udah mau tidur. Kita ngobrol.” Begitu mengatakan hal itu, aku merasakan binar matanya kembali. Aku melangkah ragu. Kemudian duduk di sampingnya. Tak benar-benar menonton. Karena Re jauh lebih penting dibandingkan dengan acara televisi yang sedang berlangsung. Aku mencoba menguasai diri.
“Kamu tahu, Ray? Apa yang sebenarnya paling menyedihkan dari sekedar bertahan atas luka?” tiba-tiba Re bersuara dan melemparkan sebuah pertanyaan yang aku sendiri tidak yakin atas jawabannya.
“Apa? Luka itu sendiri?” jawabku asal. Re menggeleng.
“Saat justeru kita tidak memiliki pilihan selain dari bertahan.”
Aku menghela napas panjang.
“Tidak ada yang lebih buruk selain dari dibunuhnya jiwamu perlahan. Rasanya seperti lebih menyakitkan dari sebuah kematian,” ucap Re melanjutkan kata-katanya melihatku hanya terdiam. Aku tak tahu harus bagaimana. Aku meraih tubuhnya dan memeluknya dengan erat. Tak mengatakan apapun. Hanya hening. Aku berharap Re dapat mengetahui apa yang ingin aku sampaikan tanpa aku harus mengatakannya. Re terdiam. Dia tidak bersuara sama sekali. Namun rasanya bahuku mulai hangat. Dia menangis tanpa suara. Dia menangis dalam hening. Dia menangis dalam keputus asaan. Kini aku tahu mengapa dia memaksa untuk datang ke tempatku. Karena bersamaku, dia merasa jiwanya dipaksa untuk kembali hidup. Ah, Re. Dia tak seharusnya mengalami ini semua.
Sejak saat itu, aku tahu kalau aku mencintainya. Mencintai perempuan yang tak lagi sendiri. Re... aku hanya tak tahu bagaimana cara mengatakannya. Aku hanya ingin melihat dia bahagia. Sesederhana ingin yang tak harus sungguh-sungguh menjadi nyata. Jika hanya dengan adanya aku untuknya sudah cukup. Maka aku tak akan pernah menghilang selamanya. Selamanya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar