RANTING YANG PATAH
Oleh Euis Shakilaraya
Aku menatap tubuh yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Kakiku membeku di tirai penghalang untuk ruangan rawat inap kelas tiga. Hampir satu jam sudah aku hanya berdiri dan melihat tubuh di depanku tak bergerak. Hanya naik turun dadanya dengan ritme sangat pelan yang membuatku yakin tubuh di depanku masih bernyawa. Pernapasannya bermasalah sehingga harus dibantu oleh oksigen dari rumah sakit. Satu dua butir airmataku mulai menetes. Aku menyekanya pelan dengan ujung kerudung biru muda yang aku pakai. Sesak rasanya. Bahkan kakiku tak mampu untuk mendekat. Aku ingat sakitnya saat berkali-kali ia mematahkan hatiku. Meninggalkanku. Menghianatiku. Rasanya seperti tercabik namun tak dapat membenci. Seperti membenci namun tak boleh membenci. Seperti sekarat namun tak diijinkan mati. Ia adalah ayahku. Ya, ayahku.
Sekitar satu tahun yang lalu, bencana besar itu datang ke keluargaku. Badai rumah tangga yang ayah dan ibu tak mampu melewatinya. Ibu kabur bersama laki-laki pilihannya. Meninggalkan aku dan ayah yang menggigil karena ketakutan untuk melanjutkan hidup tanpa ibu. Ayah menjadi sangat pemurung. Ia seolah kehilangan bintangnya. Ditinggalkan oleh ibu adalah kenyataan terburuk di sepanjang hidupnya. Membuat memori ingatannya mengabur. Ia tak ingat lagi bahwa masih ada aku yang setia menemaninya dan menyemangatinya untuk kembali menata kehidupan. Aku, ditinggalkan. Ia lebih memilih tinggal di tanah perantauannya. Napasku mulai memburu. Mengingat seluruh kejadian itu hanya membuatku semakin sakit. Aku melihat tubuh di depanku bergerak. Ia membenarkan posisi tidurnya. Rasanya ingin membantunya menyamankan posisi tidurnya. Namun keinginan itu menguap begitu saja. Aku masih belum dapat meringankan langkahku untuk mendekat.
Kemarin, masih aku dengar suaranya melalui telepon. Ia mengabarkan bahwa dirinya sedang dalam keadaan yang amat berbahaya. Aku hanya mampu menghela napas. Sudah sangat lelah menghadapi satu per satu drama sialan yang diperankan langsung oleh kedua orang tuaku. Ia terus saja mengoceh akan hal-hal yang menyulitkan otakku untuk berpikir. Kemarin merupakan telepon pertamanya setelah hampir satu tahun meninggalkanku tanpa kabar yang berarti. Tak pernah ada sapa jarak jauh hanya sekedar untuk menanyakan kabarku atau kuliahku. Dan telepon itu hanya untuk mengabarkan bahwa nyawanya sedang terancam. Ya Tuhan.
“Demi Tuhan, Dinda. Saya tidak berbohong. Nyawa saya dalam bahaya. Kamu ingat Tante Anah? Yang entah kapan saya kenalkan ke kamu sebagai calon isteri saya?” ucapnya dengan nada suara seperti tercekat. Dari nada bicaranya, aku tahu betul ia tidak berbohong. Ia sungguh-sungguh dalam keadaan sangat ketakutan. Suaranya bergetar gemetar takut akan datangnya malaikat maut yang tak pernah diinginkannya.
“Apa yang bisa saya bantu untuk membuat Ayah aman?” aku sengaja tidak menanggapi pertanyaannya tentang tante Anah.
“Saya harus pulang ke tempatmu. Besok saya pulang.”
“Besok? Silakan. Tapi saya ada acara launching novel saya di Jakarta. Saya berangkat besok pagi.”
“Demi Tuhan, Dinda. Kamu lebih mementingkan acara bodohmu itu dibandingkan dengan nyawa Ayahmu sendiri?”
“Acara bodoh? Ah, terserah. Saya malas ribut.”
Aku masih ingat bagaimana bergemuruhnya hatiku begitu ayah mengatakan bahwa launching novel perdanaku adalah acara yang bodoh. Airmataku menderas. Ujung kerudung biru mudaku sudah basah. Aku tak sanggup menahan pilu yang menyergap begitu saja saat melihat tubuh di depanku benar-benar tak berdaya.
Saat acara launching sedang berlangsung, ada sebuah panggilan dari nomor yang tidak dikenal. Pembawa acara mempersilakan aku untuk mengangkat telepon sebentar. Aku menanyakan identitas diri dari si penelepon. Lantas tak mesti menunggu hingga menit ke lima, dadaku seperti ingin meledak. Rasanya seperti ingin meraung di tengah kerumunan manusia yang menghadiri acara launching novel perdanaku.
“Bagaimana bisa!” hanya berupa desisan amarah yang sekuat hati aku tahan agar tak merusak acara yang sangat penting dalam hidupku. Aku menahannya hingga akhirnya susunan acara hingga sesi tanda tangan selesai. Ada beberapa pembaca yang meminta berfoto bersama denganku dan editorku. Aku akhirnya mendekati Kak Fila, editor novelku yang mendampingiku.
“Saya harus ke rumah sakit di Bekasi. Ayah saya... uhm... kecelakaan, Kak.” Aku tak dapat menceritakan yang sebenarnya bahwa yang menelepon adalah polisi yang menangani kasus ayahku.
“Ya Tuhan. Mau saya antar?”
“Tidak usah, Kak. Saya bisa sendiri.”
Kak Fila memelukku dan beberapa rekan yang hadir pun ikut memelukku dan mengatakan banyak sekali kalimat positif. Gigiku masih gemeretak. Aku benar-benar menahan marah. Aku segera keluar dari gedung kemudian mencari ojeg untuk segera ke stasiun dan harus sesegera mungkin sampai di kantor polisi sektor di dekat rumah sakit.
Napasku semakin memburu tak beraturan. Mengingatnya kembali sama saja seperti menikamkan belati tajam ke hatiku berkali-kali. Senggukanku mulai tak terkendali. Aku lihat seseorang mulai tertarik dengan adegan dramatisku. Berdiri mematung dengan tangis yang pecah seolah sedang menangisi seonggok mayat yang kehidupannya telah diambil kembali oleh Tuhan.
“Berkunjung?” tanyanya. Aku menyeka airmataku dengan ujung kerudung biru mudaku yang sudah membasah. Seseorang itu menyodorkan tisue.
“Pakailah. Gratis,” ucapnya sembari meringis. Aku ingin tersenyum. Namun bibirku tak dapat ikut melengkung sempurna membentuk sebuah garis senyuman tulus yang memang berterimakasih karena telah diberikan tisue.
Aku melihat ayahku seperti kesusahan untuk menegakkan tubuhnya. Ia bangun. Ia menjulurkan tangannya untuk meraih gelas. Ia haus. Aku gemetar menahan marah. Ingin sekali berteriak bahwa semua ini karena ulahnya sendiri. Kecerobohannya. Kemunafikannya. Kesalahannya! Tangisku semakin pecah. Aku mundur satu langkah. Bersembunyi di balik tirai yang menghalangi antar ruangan kelas tiga. Entah aku sedang menumpang menangis di ruangan siapa. Aku tak dapat menahan gejolak hatiku sendiri. Tak mampu meredamnya jika masih berada di tempat ini. Seandainya ada ibu. Ah! Ia bahkan sudah lenyap dari rotasi hidupku. Tanpa kabar sama sekali. Bahkan aku tak pernah tahu keberadaannya. Selentingan tetangga mengatakan bahwa kemungkinan besar ibuku pergi ke luar negeri menjadi TKW. Aku tak peduli lagi.
“Pakailah lagi. Masih gratis!” seseorang itu kembali mengulurkan tisue dan mendekat. Aku meraihnya dengan tangan berguncang. Memang, seluruh tubuhku berguncang karena tangis yang menggila.
“Laki-laki di ujung sana, keluargamu?” seseorang itu tampak bertanya dengan hati-hati. Aku hanya mampu mengangguk. Terbayang kembali kejadian di kantor polisi di mana polisi tersebut dengan menggebu mengulang cerita seluruh kejadian perkara yang menyebabkan ayah berada di rumah sakit ini.
“Ayah Anda mengancam perempuan yang bernama Anah. Dia mengancam untuk menyebarkan foto tak senonoh Anah. Kemudian Anah melaporkan kejadian itu kepada calon suaminya dan calon suaminya adalah preman pribumi. Habislah Ayahmu! Motornya hancur. Ada di depan. Beberapa barang bukti berupa handphone dan dompet ada pada saya. Sebentar, saya ambilkan.”
Melihatnya bangkit, aku memberikan isyarat agar dia tetap duduk. Aku mengatur napasku.
“Anda melepaskan preman itu begitu saja?”
“Kami tidak memiliki alasan untuk menahannya.”
“Dia mengeroyok ayah saya sampai hampir mati, Anda bilang tak memiliki alasan untuk menahannya?” aku benar-benar marah. Polisi dengan perut buncit itu tertawa.
“Ayahmu seperti seorang maling yang dikeroyok massa karena tertangkap basah. Apa saya harus memenjarakan seluruh massa?”
“Tapi sayangnya, Ayah saya bukan maling!!! Anda tidak bekerja dengan maksimal, Pak Polisi. Anda gagal.”
Aku bangkit kemudian berlalu dari kantor berbau busuk itu. Jelas sudah Anah yang membuat ini semua terjadi. Ayah kalap mengancamnya pasti karena ia takut sekali menghadapi kenyataan bahwa Anah tak pernah serius dengannya dan lebih memutuskan untuk menikah dengan lelaki lain. Janda beranak satu itu ular berbisa. Aku tak memedulikan teriakan polisi yang menyuruhku kembali untuk mengambil barang-barang ayahku. Aku hanya ingin segera melihat keadaan ayah. Namun buktinya, aku membeku di ruangan kosong yang hanya ada seseorang pemberi tisue itu.
“Dia diantarkan polisi ke sini. Kondisinya gawat sekali. Saya melihat dia seperti sedang sekarat menghadapi ajal. Namun syukurlah masa kritisnya akhirnya lewat,” ucap si pemberi tisue.
“Bagaimana kamu tahu?” aku penasaran.
“Saya berada di ruang IGD saat dia dibawa oleh polisi untuk mendapatkan penanganan. Dia dipindahkan ke ruang ICU setelah tak sadarkan diri. Namun akhirnya di pindahkan ke sini. Dan kami berada di ruang yang sama. Meski dipisahkan dua tirai penghalang.”
Aku menyapu ruangan ini dengan pandanganku. Tak ada yang tergolek sakit di sini.
“Siapa yang sakit?” tanyaku.
“Tidak ada,” jawabnya santai.
“Lantas?” aku mulai penasaran. Percakapan ini membuat airmataku perlahan surut. Aku mulai tenang.
“Tidak ada yang sakit karena Ayah saya sudah meninggal. Kakak saya sedang mengurus jenazahnya bersama pihak rumah sakit. Saya bertugas membereskan administrasi dan memilih duduk di sini sebelum pulang. Saya tidak akan pernah melihatnya lagi.” Ada yang retak di hatiku begitu mendengarnya. Mendengar nada pilu di suaranya. Meninggal? Tubuhku mendadak menggigil hebat. Aku mendekap tubuhku sendiri.
“Maaf...” hanya itu yang keluar dari mulutku.
Dia terlihat tersenyum.
“Sudah waktunya saja. Tak apa. Oya, Saya Wira. Kamu?”
“Dinda.”
“Dinda?”
“Dinda Safitri.”
“Tunggu, pantas saya seperti sudah melihat kamu.”
Si pemberi tisue yang mengaku namanya adalah Wira itu merogoh tas ransel merah maroonnya. Dia mengeluarkan sebuah novel berjudul Ranting Yang Patah. Novel perdanaku. Dia membukanya dengan tergesa sampai akhirnya berhenti di bagian profil penulis.
“Dinda Safi yang memiliki nama lengkap Dinda Safitri. Pecinta biru. Penulis muda kelahiran tahun... Heiii... ini kamu.”
“Selamat kamu bertemu dengan penulisnya yang sedang dalam keadaan kacau dengan tubuh menggigil seperti ini,” ucapku membelakanginya. Kembali mencuri pandang kepada Ayah yang matanya sedang menatap kosong ke langit-langit kamar rumah sakit.
“Saya rasa memang kurang beruntung. Kamu tidak akan bisa tanda tangan dengan tubuh menggigil seperti itu. Ah ya... saya harus pamit. Jangan pernah benar-benar menjadi ranting yang patah seperti ceritamu dalam novel ini. Kamu bisa hidup lebih baik dari sekedar patah kemudian terinjak.”
Wira benar-benar pergi. Aku menangis kembali. Menangis sejadi-jadinya. Dia benar. Ini saatnya aku memaafkan seluruh kesalahan ayah. Kembali memulai kehidupan lagi bersamanya. Aku berjalan pelan menuju ruangan ayah. Sesaat mata kami bertumpu. Ia seperti terhenyak. Matanya berair. Aku memeluk tubuhnya yang lemah.
“Maafkan saya, Dinda. Saya bukan ayah yang baik.”
“Saya sudah memaafkan Ayah.”
Karena ranting-ranting yang patah tak dapat kembali berbunga, maka aku sebaiknya menjadikannya api unggun yang menghangatkan dan memberi cahaya kehidupan. Aku tidak akan pernah menjadi ranting yang patah. Tidak akan.

Sedihh
BalasHapusSedihh
BalasHapus😂
Hapus