PEREMPUAN YANG SEDANG DALAM PELUKAN
Oleh Euis Shakilaraya
“Maka
biarkan ia tetap nyata meski dalam mimpi-mimpi yang panjang. Pun biarkan ia
tetap hidup meski dalam semesta yang tak terjamah.”
Aku tak pernah tahu apa yang
sebenarnya lebih menyenangkan dari sekadar melihat kau tertawa. Bahwa dalam
semestamu, tak pernah ada sedih atau senang. Suka maupun duka. Karena
menurutmu, hidup hanya tentang bagaimana kau bisa menjadikan seluruh rasa yang
tercipta dari keadaan, menjadi sesuatu yang menyenangkan. Bagiku, justeru
hidupku tak akan pernah semenyenangkan ini tanpa dirimu. Hanya itu satu-satunya
hal yang dapat aku pahami meski aku tak pernah mendapatkan jawaban atas
tanyamu. Kau selalu menggodaku dengan bertanya, mengapa? Mengapa aku begitu
istimewa untukmu? Hahaha gemas sekali melihat caramu menanyakan hal itu dengan
bergelayut manja. Bahagia sekali mendengar suara lembutmu. Terlebih cara
tertawamu yang membuat dadaku penuh. Seketika terisi. Tak jarang pula membuatku
merasa sangat sesak oleh buncah kegirangan ala anak kecil yang dihadiahi permen
gula. Aku tak tahu. Maaf, tapi aku sungguh tak pernah tahu. Mengapa? Mengapa kau
begitu istimewa? Apa karena kau memiliki cara tertawa yang sangat menyenangkan?
Di mana seluruh semestaku ikut terbawa suasana menjadi sangat gempita. Tapi
tidak, Kei. Aku pernah melihatmu terdiam dengan airmata menggenang di pelupuk
matamu. Kau tidak tertawa. Tapi... arrrgh!
Kau tahu? Kau tetap istimewa. Aku pun suka sekali caramu menangis. Kau hanya
butuh terdiam beberapa menit. Menumpahkan seluruh airmatamu. Kemudian kau
menghela napas panjang dan menyekanya kasar. Kau menangis dalam sendu yang tak
terdefinisikan. Dalam diam yang tak memiliki ruang untuk terisak. Mungkin, aku
menganggapmu istimewa karena itu adalah kau, Kei. Dirimu. Sungguh, dirimu.
Persetan jika ada perempuan lain yang memiliki cara tertawa lebih menyenangkan
darimu, aku tetap lebih memilihmu. Karena itu adalah kau.
Kei, kau ingat hari itu?
Hari di mana kita benar-benar menghabiskan waktu hanya berdua. Bahkan mentari
dan senja hanya menjadi pelengkap saja. Kau bertanya dengan manja, apa aku
cantik? Aku sontak tertawa. Hahaha. Demi Tuhan, Kei. Itu pertanyaanmu yang ke
seratus sembilan puluh tiga dalam kurun waktu dua bulan kalau aku tidak
dianggap berlebihan karena selalu menghitung pertanyaan itu. Kau memberengut.
Aku menghentikan tawaku seketika. Aku tidak ingin kau memberengut seperti itu.
Aku tidak akan membuatmu memberengut kesal maupun sedih. Tidak akan. Maka aku
hanya mampu memegang dagumu kemudian memagut bibir merahmu dengan lembut. Kau
menggeliat kemudian melepaskan ciumanku. Hei... liciiik. Dilarang cium. Jawab
dulu saja pertanyaanku! Hahaha ekspresi wajahmu sangat lucu, Kei. Sumpah demi
apapun! Mengapa yang seperti kau ini hanya diciptakan satu saja oleh Tuhan?
Mengapa tidak dilahirkan dalam jumlah yang banyak. Ah! Damn! Kemudian aku hanya dapat menggenggam tanganmu. Menatap matamu
dengan tatapan yang dalam. Kau tidak cantik, Kei. Kau istimewa karena itu kau.
Kau istimewa karena itu dirimu. Lantas kau tersipu. Pipimu bersemu merah. Kau
dan aku kembali larut dalam gelora yang entah.
Indah ‘kan, Kei?
Benar-benar indah, bukan?
Hari yang sangat
menyenangkan, ‘kan?
Hari pada saat aku
benar-benar datang untuk menggenggam jemarimu. Untuk memeluk tubuhmu dan untuk
memastikan tentang apa yang aku rasakan selama ini. Aku berharap, saat bertemu
denganmu, perasaanku tiba-tiba berubah. Bahwa tak pernah ada perasaan ingin
menyerahkan seluruh hidupku kepadamu. Pun tak akan pernah ada perasaan takut
kehilangan yang membuat gila. Aku berharap hatiku bergumam, Demi Tuhan! Kei tak
pernah benar-benar nyata. Ia tak sebaik yang aku kira selama ini. Ia tak
seperti yang aku bayangkan selama ini. Tapi damn!
Kau tahu, Kei? Yang aku harapkan justeru menjadi bumerang untuk diriku sendiri.
Aku terjatuh semakin dalam begitu sengaja membuat kedua mataku dan kau saling
bertemu. Aku bahkan semakin terjerembab dalam euforia gila karena amat
terpesona dengan cara tertawamu. Gerak gerikmu. Dan semua hal yang kau lakukan.
Gila!
Hari itu benar-benar gila ‘kan, Kei?
Aku berharap waktu berhenti
saat itu juga. Menyisakan aku, kau dan semesta kita. Aku mendekap tubuhmu
sangat erat. Kau tersenyum amat manis. Kemudian kau membalik tubuhmu sehingga
aku dan kau saling berhadapan dengan kepalamu yang disandarkan ke lenganku. Kau
menggamit jemariku dan mulai berbicara sembari mengusapnya satu per satu.
Katakan padaku, kau menyukai kebersamaan kita ini atau tidak? Pertanyaan macam apa, Kei. Ya, JELAS!
Ini sungguh menyenangkan. Mendekap tubuh perempuan yang benar-benar aku
sayangi. Membiarkan degup jatung kau dan aku menyatu dalam ritme yang cepat
atau melambat. Aku tak buru-buru menjawab. Aku tahu kau masih banyak pertanyaan.
Maka aku hanya mampu membelai rambutmu dan menciuminya dengan berharap dapat
terus melakukannya hingga entah kapan atau yang disebut selamanya meski entah
juga apa yang dimaksudkan dengan kata selamanya. Aku akan sangat merindukan
harum rambut dan tubuhmu. Aku merasakan sakit di lenganku. Hei... kau
mencubitku, Kei! Kau tertawa. Ya, jawab, malah sibuk sama pikiran sendiri, katamu
merajuk. Aku mengembalikan memori otakku ke beberapa detik yang lalu. Apa? Soal
kebersamaan kita? Demi Tuhan! Untuk apa kau terus menerus menanyakan hal itu
sedangkan kau sudah tahu jawabannya. Aku sangat menyayangimu, Kei. Tentu aku
sangat menyukai kebersamaan kita. Aku pura-pura berpikir. Melihat ke
langit-langit kamar. Mengumpulkan susunan kata agar dapat terdengar sempurna di
telingamu. Aku sangat menyukai kebersamaan kita, Kei. Sama halnya dedaunan yang
menyukai kebersamaannya dengan angin. Tak peduli akan terhempas sejauh apa. Tak
peduli akan terjatuh sedalam apa. Aku tetap menyukai kebersamaan kita. Dapatkah
selamanya, Kei?
Saat itu, aku benar-benar
yakin kau dapat merasakan degup jantungku yang ritmenya menjadi sangat cepat. Aku
menjadi semakin takut kehilanganmu. Bahkan membayangkannya saja membuat ada
yang sakit di ulu hati. Ya, sakit sekali di sana, Kei. Aku merasa jemariku kau
genggam sangat erat. Kita bisa selalu bersama, aku yakin, ucapmu saat itu. Aku tahu
kau hanya sekadar menghibur saja. Tapi apa yang keluar dari mulutmu, semuanya
mendamaikan. Membuat hatiku kembali tenang. Aku kembali memelukmu erat. Meyakinkan
diriku sendiri bahwa memang kita akan selamanya menjalani indahnya kebersamaan
ini.
Sial! Mengenangnya saja
membuatku ingin meledak. Kepalaku terasa penuh. Katakan, Kei... bagaimana
caranya aku dapat pergi, sedangkan berbalik arah dari dirimu saja, aku sudah
lupa caranya.
Aku pernah tahu rasanya
memeluk seorang perempuan. Tapi aku tak pernah tahu rasanya memeluk seorang
perempuan akan menghadirkan perasaan damai yang tak terdefinisikan. Hingga akhirnya
aku memelukmu, Kei. Itu adalah pertama kalinya aku merasa waktu terjeda. Hanya ada
gulita, genggam tangan, pelukan erat kemudian kedamaian dan rasa nyaman. Entah apa
yang ada dalam dirimu. Namun begitu memelukmu, aku merasa ingin berhenti. Aku benar-benar
ingin berhenti. Aku ingin berteriak bahwa perempuan seperti kaulah yang selama
ini aku butuhkan. Perempuan semenyenangkan dirimu, Kei. Hidupku tak pernah
benar-benar menyenangkan tanpa dirimu. Sungguh... demi langit dan bumi...
Sial!!! Sial!!!
Jika aku ditakdirkan untuk
menjalani sekali lagi kehidupan yang lain, aku hanya ingin memilikimu, Kei. Seutuhnya.
Tidak seperti saat ini. Aku begitu merasa hangat saat dapat memilikimu meski
hanya satu hari dari ratusan hari yang kau habiskan dengan lelakimu. Namun di
sisi lain, aku merasa amat terhujam saat meraih kenyataan bahwa satu hari yang
kita lewati selalu sia-sia karena bagaimanapun bersikerasnya aku, aku tetap
tidak dapat memiliku. Tidak dapat memelukmu selamanya. Tidak, Kei. Itu kenyataannya.
Lantas bagaimana untuk
membunuh perasaan ini, Kei? Bagaimana?
Hahaha, dengan sialnya, kau malah
mengatakan;
“Maka
biarkan ia tetap nyata meski dalam mimpi-mimpi yang panjang. Pun biarkan ia
tetap hidup meski dalam semesta yang tak terjamah.”
*Terinspirasi dari lagu Payung Teduh.
