Sabtu, 16 Januari 2016

PEREMPUAN YANG SEDANG DALAM PELUKAN

PEREMPUAN YANG SEDANG DALAM PELUKAN
Oleh Euis Shakilaraya






“Maka biarkan ia tetap nyata meski dalam mimpi-mimpi yang panjang. Pun biarkan ia tetap hidup meski dalam semesta yang tak terjamah.”

Aku tak pernah tahu apa yang sebenarnya lebih menyenangkan dari sekadar melihat kau tertawa. Bahwa dalam semestamu, tak pernah ada sedih atau senang. Suka maupun duka. Karena menurutmu, hidup hanya tentang bagaimana kau bisa menjadikan seluruh rasa yang tercipta dari keadaan, menjadi sesuatu yang menyenangkan. Bagiku, justeru hidupku tak akan pernah semenyenangkan ini tanpa dirimu. Hanya itu satu-satunya hal yang dapat aku pahami meski aku tak pernah mendapatkan jawaban atas tanyamu. Kau selalu menggodaku dengan bertanya, mengapa? Mengapa aku begitu istimewa untukmu? Hahaha gemas sekali melihat caramu menanyakan hal itu dengan bergelayut manja. Bahagia sekali mendengar suara lembutmu. Terlebih cara tertawamu yang membuat dadaku penuh. Seketika terisi. Tak jarang pula membuatku merasa sangat sesak oleh buncah kegirangan ala anak kecil yang dihadiahi permen gula. Aku tak tahu. Maaf, tapi aku sungguh tak pernah tahu. Mengapa? Mengapa kau begitu istimewa? Apa karena kau memiliki cara tertawa yang sangat menyenangkan? Di mana seluruh semestaku ikut terbawa suasana menjadi sangat gempita. Tapi tidak, Kei. Aku pernah melihatmu terdiam dengan airmata menggenang di pelupuk matamu. Kau tidak tertawa. Tapi... arrrgh! Kau tahu? Kau tetap istimewa. Aku pun suka sekali caramu menangis. Kau hanya butuh terdiam beberapa menit. Menumpahkan seluruh airmatamu. Kemudian kau menghela napas panjang dan menyekanya kasar. Kau menangis dalam sendu yang tak terdefinisikan. Dalam diam yang tak memiliki ruang untuk terisak. Mungkin, aku menganggapmu istimewa karena itu adalah kau, Kei. Dirimu. Sungguh, dirimu. Persetan jika ada perempuan lain yang memiliki cara tertawa lebih menyenangkan darimu, aku tetap lebih memilihmu. Karena itu adalah kau.
Kei, kau ingat hari itu? Hari di mana kita benar-benar menghabiskan waktu hanya berdua. Bahkan mentari dan senja hanya menjadi pelengkap saja. Kau bertanya dengan manja, apa aku cantik? Aku sontak tertawa. Hahaha. Demi Tuhan, Kei. Itu pertanyaanmu yang ke seratus sembilan puluh tiga dalam kurun waktu dua bulan kalau aku tidak dianggap berlebihan karena selalu menghitung pertanyaan itu. Kau memberengut. Aku menghentikan tawaku seketika. Aku tidak ingin kau memberengut seperti itu. Aku tidak akan membuatmu memberengut kesal maupun sedih. Tidak akan. Maka aku hanya mampu memegang dagumu kemudian memagut bibir merahmu dengan lembut. Kau menggeliat kemudian melepaskan ciumanku. Hei... liciiik. Dilarang cium. Jawab dulu saja pertanyaanku! Hahaha ekspresi wajahmu sangat lucu, Kei. Sumpah demi apapun! Mengapa yang seperti kau ini hanya diciptakan satu saja oleh Tuhan? Mengapa tidak dilahirkan dalam jumlah yang banyak. Ah! Damn! Kemudian aku hanya dapat menggenggam tanganmu. Menatap matamu dengan tatapan yang dalam. Kau tidak cantik, Kei. Kau istimewa karena itu kau. Kau istimewa karena itu dirimu. Lantas kau tersipu. Pipimu bersemu merah. Kau dan aku kembali larut dalam gelora yang entah.
Indah ‘kan, Kei?
Benar-benar indah, bukan?
Hari yang sangat menyenangkan, ‘kan?
Hari pada saat aku benar-benar datang untuk menggenggam jemarimu. Untuk memeluk tubuhmu dan untuk memastikan tentang apa yang aku rasakan selama ini. Aku berharap, saat bertemu denganmu, perasaanku tiba-tiba berubah. Bahwa tak pernah ada perasaan ingin menyerahkan seluruh hidupku kepadamu. Pun tak akan pernah ada perasaan takut kehilangan yang membuat gila. Aku berharap hatiku bergumam, Demi Tuhan! Kei tak pernah benar-benar nyata. Ia tak sebaik yang aku kira selama ini. Ia tak seperti yang aku bayangkan selama ini. Tapi damn! Kau tahu, Kei? Yang aku harapkan justeru menjadi bumerang untuk diriku sendiri. Aku terjatuh semakin dalam begitu sengaja membuat kedua mataku dan kau saling bertemu. Aku bahkan semakin terjerembab dalam euforia gila karena amat terpesona dengan cara tertawamu. Gerak gerikmu. Dan semua hal yang kau lakukan. Gila!
Hari itu benar-benar gila ‘kan, Kei?
Aku berharap waktu berhenti saat itu juga. Menyisakan aku, kau dan semesta kita. Aku mendekap tubuhmu sangat erat. Kau tersenyum amat manis. Kemudian kau membalik tubuhmu sehingga aku dan kau saling berhadapan dengan kepalamu yang disandarkan ke lenganku. Kau menggamit jemariku dan mulai berbicara sembari mengusapnya satu per satu. Katakan padaku, kau menyukai kebersamaan kita ini atau tidak? Pertanyaan macam apa, Kei. Ya, JELAS! Ini sungguh menyenangkan. Mendekap tubuh perempuan yang benar-benar aku sayangi. Membiarkan degup jatung kau dan aku menyatu dalam ritme yang cepat atau melambat. Aku tak buru-buru menjawab. Aku tahu kau masih banyak pertanyaan. Maka aku hanya mampu membelai rambutmu dan menciuminya dengan berharap dapat terus melakukannya hingga entah kapan atau yang disebut selamanya meski entah juga apa yang dimaksudkan dengan kata selamanya. Aku akan sangat merindukan harum rambut dan tubuhmu. Aku merasakan sakit di lenganku. Hei... kau mencubitku, Kei! Kau tertawa. Ya, jawab, malah sibuk sama pikiran sendiri, katamu merajuk. Aku mengembalikan memori otakku ke beberapa detik yang lalu. Apa? Soal kebersamaan kita? Demi Tuhan! Untuk apa kau terus menerus menanyakan hal itu sedangkan kau sudah tahu jawabannya. Aku sangat menyayangimu, Kei. Tentu aku sangat menyukai kebersamaan kita. Aku pura-pura berpikir. Melihat ke langit-langit kamar. Mengumpulkan susunan kata agar dapat terdengar sempurna di telingamu. Aku sangat menyukai kebersamaan kita, Kei. Sama halnya dedaunan yang menyukai kebersamaannya dengan angin. Tak peduli akan terhempas sejauh apa. Tak peduli akan terjatuh sedalam apa. Aku tetap menyukai kebersamaan kita. Dapatkah selamanya, Kei?
Saat itu, aku benar-benar yakin kau dapat merasakan degup jantungku yang ritmenya menjadi sangat cepat. Aku menjadi semakin takut kehilanganmu. Bahkan membayangkannya saja membuat ada yang sakit di ulu hati. Ya, sakit sekali di sana, Kei. Aku merasa jemariku kau genggam sangat erat. Kita bisa selalu bersama, aku yakin, ucapmu saat itu. Aku tahu kau hanya sekadar menghibur saja. Tapi apa yang keluar dari mulutmu, semuanya mendamaikan. Membuat hatiku kembali tenang. Aku kembali memelukmu erat. Meyakinkan diriku sendiri bahwa memang kita akan selamanya menjalani indahnya kebersamaan ini.
Sial! Mengenangnya saja membuatku ingin meledak. Kepalaku terasa penuh. Katakan, Kei... bagaimana caranya aku dapat pergi, sedangkan berbalik arah dari dirimu saja, aku sudah lupa caranya.
Aku pernah tahu rasanya memeluk seorang perempuan. Tapi aku tak pernah tahu rasanya memeluk seorang perempuan akan menghadirkan perasaan damai yang tak terdefinisikan. Hingga akhirnya aku memelukmu, Kei. Itu adalah pertama kalinya aku merasa waktu terjeda. Hanya ada gulita, genggam tangan, pelukan erat kemudian kedamaian dan rasa nyaman. Entah apa yang ada dalam dirimu. Namun begitu memelukmu, aku merasa ingin berhenti. Aku benar-benar ingin berhenti. Aku ingin berteriak bahwa perempuan seperti kaulah yang selama ini aku butuhkan. Perempuan semenyenangkan dirimu, Kei. Hidupku tak pernah benar-benar menyenangkan tanpa dirimu. Sungguh... demi langit dan bumi... Sial!!! Sial!!!
Jika aku ditakdirkan untuk menjalani sekali lagi kehidupan yang lain, aku hanya ingin memilikimu, Kei. Seutuhnya. Tidak seperti saat ini. Aku begitu merasa hangat saat dapat memilikimu meski hanya satu hari dari ratusan hari yang kau habiskan dengan lelakimu. Namun di sisi lain, aku merasa amat terhujam saat meraih kenyataan bahwa satu hari yang kita lewati selalu sia-sia karena bagaimanapun bersikerasnya aku, aku tetap tidak dapat memiliku. Tidak dapat memelukmu selamanya. Tidak, Kei. Itu kenyataannya.
Lantas bagaimana untuk membunuh perasaan ini, Kei? Bagaimana?
Hahaha, dengan sialnya, kau malah mengatakan;

“Maka biarkan ia tetap nyata meski dalam mimpi-mimpi yang panjang. Pun biarkan ia tetap hidup meski dalam semesta yang tak terjamah.”




*Terinspirasi dari lagu Payung Teduh.