Selasa, 05 April 2016

PENCARIAN


Sebuah cerpen
Oleh Euis Shakilaraya

Dipersembahkan untuk sahabat; Hendy Wijaya

Ini merupakan hisapan terakhir dari sebatang rokok yang sudah hampir dua puluh menit berada terjepit di antara jari telunjuk dan jari tengahku. Aku menghembuskan asapnya ke langit kemudian membiarkannya mengepul menjadi sebuah lingkaran cincin yang perlahan koyak. Tak lagi berbentuk. Langit Jakarta sedang cerah. Aku tak peduli dengan gelas kopi di sampingku yang justeru semakin pekat akan kental ampasnya, karena airnya sudah hampir tandas. Bahkan benar-benar tak peduli pada seseorang di sampingku. Seandainya saja dia tidak bersuara, dengan senang hati aku lebih berkenan menganggapnya sebagai batu.

"Lu tahu kalau udah hampir satu windu lu diem aja kayak gini? Ngobrol kek. Biar gue nggak ngerasa kayak duduk bareng batu," protesnya.

Sejujurnya, sudah sejak dari awal dia duduk di sampingku, aku sudah menganggapnya sebagai batu. Aku masih terdiam. Menatap langit yang cahaya bulannya mulai meredup.

"Itu langit nggak akan tiba-tiba runtuh kok. Tenang aja. Lu nggak usah liatin langit sampe segitunya," protesnya (lagi).

Ah, seandainya benar dia hanya sebongkah batu.

"Woiii! Jawab gue kek!"
"Siapa yang nyuruh lu duduk di samping gue?" Tanyaku tanpa menoleh padanya.
"Nggak ada."
"Kayaknya lebih baik lu diem kayak gue. Biar lu bisa denger suara angin yang bertasbih," ucapku dengan mengangkat kedua tangan ke langit. Seseorang di sampingku terbahak. Seperti baru mendengar sebuah lelucon. Tawanya memecah malam yang semakin larut.

"Njiiir bahasa lu!" Dia meninju lenganku.

Aku terkekeh geli melihat responnya. Namanya Aji. Entah tergolong spesies apa. Dia hanya makhluk Tuhan yang paling ingin aku singkirkan dari muka bumi. Mungkin jika saja ada mantera yang dapat melenyapkan seseorang, Aji akan menjadi yang pertama aku lenyapkan. Pembawa sial. Karena dengan sialnya, aku hampir tidak pernah melewatkan satu hari pun tanpa dirinya. Benar-benar sial. Dia sahabat yang baik.

"Gue lagi mikirin sesuatu yang mendalam dari kehidupan gue," ucapku serius. Aji menyeruput kopinya dan menganggukkan kepalanya seolah siap mendengar apa yang akan aku ucapkan selanjutnya.
Aku menyanggah punggungku dengan kedua lengan. Memposisikan diri senyaman mungkin. Kemudian menutup mata. Merasakan desau angin yang membisikkan nama Tuhan. Nyanyian malam mulai terdengar merdu.

"Sebenernya, apa tujuan hidup kita?" Pertanyaan yang keluar dari mulutku begitu saja membuat suasana semakin hening. Aku hanya mendengar sekilas kalau Aji sedang menghisap rokoknya. Sedangkan aku masih memejamkan mata.
"Beribadah? Lu tau, Ji. Ustadz Harun nggak pernah nyuruh gue shalat sama puasa sama sekali. Dan sikapnya, bikin gue gelisah," tambahku.

Aku membuka mataku kemudian menatap Aji dengan tajam.

"Jangan liatin gue! Gue nggak paham soal ibadah. Gue nggak ngaji kayak lu!" Aji mengepulkan asap rokoknya ke langit.
"Tepat! Intinya apa?"
"Apa?"
"Ya, Apa?" Tanyaku sedikit memaksa.
"Ya lu mau ngomong apa, Kampret." Aji terbahak. Membuang puntung rokoknya. Kemudian mengambil satu batang lainnya dan kembali menyalakannya.
"Ya intinya urusan ibadah itu jadi urusan pribadi lu sama Tuhan," jelasku. Aku teringat kembali dengan ustadz Jaka yang berbeda dengan ustadz Harun. Beliau selalu menekankan padaku bahwa beribadah kepada Tuhan tidak dapat ditawar. Merupakan suatu bentuk syukur kepada Yang Maha Esa. Lantas demi kepuasan bathin dari jiwa yang diselimuti dahaga sepertiku, aku memilih berhenti beribadah. Berhenti menyentuhkan dahiku di atas sajadah. Berhenti membuat tubuhku fokus menatap ke arah kiblat. Toh Tuhan bisa diajak berkomunikasi dengan banyak cara, 'kan? Mengapa harus shalat hanya untuk berkomunikasi denganNya?
Mengingat kebodohanku itu, tubuhku menggigil hebat. Aku mengambil paksa rokok di jari Aji. Kemudian menghisapnya dengan kuat. Aku membuang pandanganku ke sembarang arah. Aji yang keheranan, menepuk bahuku.

"Lu kenapa?" Tanya Aji.
"Gue nggak kenapa-napa."
"Lu mending stop ngomongin hal yang gue nggak paham," ucap Aji.

Aku duduk memeluk lutut sembari menggoyangkan tubuhku ke depan dan ke belakang. Seperti banyak sekali belati yang menghujam tepat di ulu hati. Diriku gelisah. Pikiranku selalu berusaha mengenyahkan tentang kegelisahanku. Namun hatiku memaksaku memikirkannya. Sudah berapa lama diriku tak membasuh wajah dengan wudhu? Entahlah. Aku tak pernah ingin mengingatnya. Aku pernah belajar di sebuah pondok pesantren yang membuatku tidak terlalu buta akan agama. Tapi kemudian apa? Tanpa belajar di sana pun aku sudah beragama. Tanpa menghabiskan waktu bertahun-tahun, aku sudah dapat melalukan shalat, berpuasa dan mengaji Al Quran. Apa perbedaan aku dengaan Aji yang hanya belajar di sekolah umum? Aku merasa tubuhku semakin merosot lemah. Gema jiwa yang merindukan Tuhannya, tak dapat aku bendung. Geletar hati yang patah karena dijauhkan dari Tuhannya, tak dapat aku kuasai lagi. Suaraku gemetar.

"Gue udah lama nggak shalat," ucapku membuat pengakuan kepada Aji yang bahkan aku sudah tahu dia akan menjawab apa. Dia pasti akan menimpali bahwa dia malah tidak pernah shalat.

"Yaelah. Gue mah nggak pernah shalat. Lebih parah dari lu."

Benar 'kan?
Tebakanku tepat sekali.

"Gue gelisah, Ji."
"Lu kenapa nggak shalat?"
"Gue..."
"Lu kenapa nggak shalat. Lu kenapa gelisah. Itu dua pertanyaan yang lu harus tahu jawabannya, kalau emang lu mau nyembuhin perasaan gelisah itu."

Itu Aji yang mengatakan hal itu? Atau dia kesurupan?

"Gue nggak pernah shalat dan gue nggak gelisah, Ga."

Aji kesurupan.

"Karena apa? Gue nggak kenal sama Tuhan gue. Ada semacam kerinduan yang hati gue tunggu buat sampe merasakan gelisah kayak lu. Gue selalu nunggu perasaan gelisah itu. Perasaan gelisah bisa jadi awal dari datangnya hidayah Tuhan. Dan gue? Jauh dari jangkauan itu. Sedangkan, lu dengan mudahnya bilang kalau lu gelisah karena nggak shalat. Lu bego banget!" Aji tak berhenti bicara. Emosinya menyala. Aku dapat melihat dari matanya.

Aku mulai yakin Aji butuh diruqiyah.

"Gue serius, Raga. Nggak kesurupan dan nggak butuh diruqiyah."

Penjahat! Dia tahu isi pikiranku.

"Hubungan sama Tuhan, tingkat kerumitannya cuma masingmasing dari jiwa yang paham. Lu harus segera minta maaf sama Dia."

Kalimat terakhir Aji membuatku seakan tertampar. Aku duduk kembali pada posisi semula. Menyanggah punggungku dengan kedua lengan. Aku menghela napas panjang sembari membuang pandanganku ke langit. Benarkah itu, Tuhan? Benarkah yang dikatakan Aji? Benarkah jiwa ini sudah sampai pada titik rindunya akan Engkau? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Berlari menemuiMu dalam keheningan sujud? Kini aku tahu mengapa ustadz Harun tak pernah memintaku untuk beribadah. Karena dia tahu, bahwa aku tak akan pernah sanggup jauh dariMu. Dia tahu bahwa jiwaku tak akan pernah sanggup berhenti akan kepercayaan tentang rahmatMu. Begitu pula dengan ustadz Jaka yang senantiasa membimbingku. Karena dia tahu, rinduku harus diberi jalan. Aku harus dituntun untuk selalu membuka mata hatiku agar senantiasa berada di jalanMu.

Shalat bukan sesederhana tentang komunikasi dengan Tuhan. Bahkan lebih mendalam daripada itu. Kebutuhan jiwa. Penyubur jiwa. Shalat bukan sekadar kewajiban. Akan tetapi kebutuhan. Sama halnya dirimu yang tak akan pernah mampu berdiri tegap tanpa adanya makanan yang kau serap menjadi energi, tanpa shalat, kau tidak akan pernah mampu merasakan kedamaian jiwa. Tidak akan. Dan Aji benar... kegelisahan ini tidak dirasakan semua jiwa. Ini adalah hidayahNya.

Ada yang membasah di ujung pelupuk mataku. Hatiku mendadak menjadi teramat haru.

"Baguslah kalau lu nggak kesurupan, Ji."
"Dibilangin gue nggak kesurupan!"
"Ya gue nggak nyangka aja. Yang keluar dari mulut lu bisa jadi kata-kata indah pembangun jiwa. Kayaknya, lu udah waktunya ikut ngaji sama gue ke Ustadz Harun."
"Yang keluar dari mulut gue palingan ludah doang. Dan gue nggak mau ngaji." Aji keras kepala.

Aku mengambil satu batang dari bungkus rokoknya, kemudian menyalakan api untuk membakar ujungnya. Perlahan menghisapnya. Bara api terlihat bersemangat saat aku menghisap sedikit demi sedikit batang rokok tersebut. Ada yang bergetar di hatiku. Aku membiarkannya terus bergetar. Agar kerinduannya semakin memuncak. Entah di sadari atau tidak, bulannya kembali bercahaya. Dan entah diberkahi oleh Tuhan atau tidak. Baru kali ini aku merasa bahwa Aji tidak harus aku lenyapkan dari muka bumi. Setidaknya, dia masih menunjukkan dirinya sedikit berguna.
"Udah deh. Nggak usah ngomongin gue di dalem hati kayak gitu," cecar Aji.
"Hahaha."
Aji keparat! Dia cenayang!
Kami terbahak membiarkan malam membingkai peristiwa ini. Membiarkan kepulan asap rokok kami berdua berpadu dalam harmoni kerinduan akan Tuhan.

-SELESAI-