Jika kau ingin memberikan judul pada tulisan ini, silakan. Karena otakku sudah terlampau penuh memikirkan hiruk pikuk yang terjadi beberapa pekan ini. Kau pikir apa? Apa yang membuatku sedemikian gila karena membiarkan diriku menjelma menjadi sebuah kursi di dalam bioskop yang temaram. Merubah diriku menjadi sebatang pohon hijau yang menjulang di sebuah pelataran parkir salah satu mal paling besar di kota ini? Membiarkan tubuhku mengurai, memisahkan seluruh partikelnya kemudian menderu bersama hempasan angin yang membuntutinya ke mana pun ia pergi. Kau pikir mengapa aku segila itu? Ah, entahlah.
Aku seperti sedang menekuri sebuah buku berisi denyutan nadi sepasang tangan yang saling menggenggam. Genggaman itu menceritakan banyak hal kepadaku. Tentang rasa ingin memiliki dan keinginan untuk menumpahkan seluruh rasa yang meletup-letup. Genggaman erat yang menggambarkan beberapa hal yang tak terlihat pada mulanya, menjadi terasa begitu jelas. Tunggu! Kau pikir apa? Ini tentangku dan dirinya? Oh ayolah! Yang benar saja!!! Jika aku sungguh-sungguh menemukan genggaman tangan seseorang seperti ia, di mana genggamannya membuat tubuhku menggigil karena berperang melawan perasaan antara ingin memeluknya atau membawanya pergi sangat jauh, aku pasti akan menceritakannya di sini. Pasti! Aku tidak akan pernah mungkin melewatkan satu kata pun jika aku harus menceritakan tentangnya.
Tentang ia yang meski hanya diam di tempatnya, namun keseluruhan tentang dirinya justeru mendobrak kehidupanku. Membuatku gelisah sepanjang malam dan terpaksa harus mengganggunya dengan pesan-pesan yang entah namun berharap sekali mampu membuatnya tertarik agar dapat terus menerus membalas pesanku. Ia tak pernah mengabaikanku. Aku tidak tahu. Dia memang seperti itu. Keceriaannya seolah membentuk atmosfer menyenangkan dalam semestanya. Membuat siapapun yang mendekat, akan memiliki gairah yang sama dalam menjalani hari. Ia bukan perempuan yang membuat lelaki akan jatuh cinta pada pandangan pertama. Sangat berlebihan jika aku menggambarkan dirinya bak bidadari yang turun dari langit ke tujuh. Aku bahkan yakin ia akan tertawa jika aku mengatakan bahwa senyumnya amat mempesona seperti bidadari yang baru saja diutus Tuhan untuk menemui cinta sejatinya. Jika ia membaca ini, ia sudah muntah atau kejang-kejang. :D
Ia hanya sosok sederhana yang membiarkan dirinya cantik dengan kesederhanaannya. Perempuan yang akan tertawa jika ada hal yang menggelikan dan akan diam jika memang ada hal yang tidak disukainya. Mengenalnya tidak merepotkan sama sekali. Tidak perlu mencari kegemarannya, ia akan menceritaknnya sendiri. Tak perlu susah payah mencari cara agar terlihat sifat aslinya, karena semua yang ia tampilkan dan lakukan memang dirinya. Apa adanya. Tanpa senyum atau kebaikan yang palsu. Aku telah menawarkan seluruh hidupku untuk dirinya, ia tak menolak. Namun ia selalu mengatakan bahwa dirinya tak dapat membalasku. Tak dapat memberikan apapun sama halnya yang telah aku berikan padanya. Dengan keras kepalanya, ia tetap diam di tempatnya. Tak memiliki keinginan untuk berontak sama sekali. Tak peduli seberapa gigihnya aku, ia hanya diam menerima semuanya.
Aku memberanikan diri untuk menculiknya. Memisahkannya dari dunianya meski kurang dari dua puluh empat jam. Mengenyahkan keraguan yang masih tampak jelas terlihat dari matanya. Hei tunggu!!! Apa aku sudah gila???!!! Ini bukan kisahku dengannya. Aku tidak akan jatuh hati pada perempuan yang tak dapat membalas perasaanku. Tidak akan! Aku juga tidak akan pernah menculik perempuan hanya untuk memastikan bahwa diriku tidak bertepuk sebelah tangan. Bukan gayaku! Anggap saja itu kisah tetanggaku. Baiklah, kembali pada sebuah buku yang berisi denyutan nadi. Aku belum selesai menceritakannya.
Tak hanya denyutan nadi dari sepasang jemari yang saling menggenggam. Aku pun merasakan degub yang ritmenya sangat cepat seolah sedang saling berkejaran. Seiring dengan itu, hela napasnya pun semakin menderu seperti sedang larut dalam gairah yang entah. Aku merasakannya bagaikan dua hati yang saling mendekap karena sudah tak mampu lagi menahan perasaan yang menggila. Saling menumpahkan perasaan yang membuncah menjadi banyak hal yang menyakitkan. Aku menutup kedua mataku. Membayangkan gelombang perasaan yang sangat hebat itu, kemudian yang terbayang justeru pasangan yang tentunya sedang kasmaran dan saling bercumbu. Sang lelaki mendekap erat dan mesra tubuh perempuannya kemudian dengan lembut memagut bibir merahnya. Berusaha memberitahukan kepada perempuannya bahwa dia sungguh-sungguh akan ungkapan cintanya. Tiba-tiba ada yang menyesak dalam hatiku. Aku membuka mataku dengan beberapa butir air mata yang menyudut di ujung mataku kemudian terjatuh.
Aku mengingat betul perasaan itu. Perasaan mencintai yang amat dalam. Perasaan entah yang bahkan aku pun tak tahu mengapa aku harus merasakannya. Mencintainya, mencintai hati yang telah mengikatkan diri dengan hati yang lain. Mencintai jiwa yang sudah dimiliki lelaki lain, benar-benar menyiksa. Menyakitkan. Namun beberapa hal yang aku tahu, bahwa aku sangat ingin membahagiakannya. Ingin selalu ada untuknya. Ingin mewujudkan apapun yang menjadi keinginannya. Tak peduli seberapa anehnya hubungan yang terjalin antara aku dengannya, aku sangat ingin menjadi tempat bersandar dalam seluruh gelisahnya. Aku merasa benar-benar tak tahu harus melakukan apa atas semua ini. Membingungkan. Tak jarang pula ia menolak hal-hal yang aku tawarkan agar ia senang. Seolah semua usahaku, tak ternilai sama sekali baginya.
Saya salah kalau saya pengen nyenengin kamu? tanyaku saat itu. Ia hanya terdiam kemudian tertunduk.
Aku mencintainya tanpa tahu apakah ini benar-benar cinta, atau sekadar perasaan semu yang datang dengan menggebu, kemudian akan hilang seiring berjalannya waktu. Aku mencintainya tanpa ingin tahu apakah ini benar-benar cinta, atau sekadar perasaan sesaat yang datang membawa sekarat, kemudian akan lebur seiring dengan rasa sakit yang hebat.
Tunggu?! Jadi ini kisahku atau tetanggaku?
