Selasa, 30 Agustus 2016

Abnormal

Abnormal
Oleh
Euis Shakilaraya


Ketidaknormalan hidup seseorang, terkadang membuat seseorang tersebut berjalan semakin melayang. Semakin tinggi dan tinggi kemudian kembali tersadar bahwa dirinya sudah terlalu jauh dan sulit untuk kembali menapaki kehidupan yang normal. Sama halnya diriku. Entah mengapa, membaur bersama yang lain kemudian mendengarkan yang lain menceritakan tentang kisah asmara, konflik keluarga, bahkan hanya sekadar berbagi penat tentang tugas-tugas perkuliahan yang menggila saja, terasa sangat aneh.

Jelas tidak ada yang salah pada mereka. Karena apa yang salah dari berbagi tentang kisah asmara? Percintaan ala anak kuliahan bahkan sampai ke perasaan-perasaan mengagumi kakak tingkat tanpa berani mengungkapkan. Tidak ada yang salah. Apa pula yang dapat disalahkan dari berbagi pedih tentang masalah-masalah yang terjadi di dalam keluarga. Papa dan mama bertengkar. Adik bandel. Papa senang marah-marah. Mama galak. Sungguh tak mengganggu sedikit pun. Karena pada teman, apapun akan tumpah ruah memaksa siapapun untuk mengungkapkan apa saja yang dirasakan. Dan bahkan aku tidak menemukan kesalahan sedikit pun pada celoteh mereka yang kelelahan karena tugas makalah menumpuk. Penelitian menanti. Jadwal presentasi membuat frustasi.

Yang salah, ada pada diriku. Di dalam diri ini.

Aku tidak dapat bercerita apapun. Aku tidak pernah tahu apa yang harus aku ceritakan. Aku merasa hidupku teramat normal tanpa ada yang serius di dalamnya. Meski justeru hal tersebut membuat orang lain berpikir ada yang tidak beres di dalam diriku. Ya memang ada yang tidak beres. Tapi bahkan diriku, tidak tahu di bagian mana kepingan yang hilang dalam hidup yang aku jalani. Pada halaman ke berapa lembaran kehidupanku mulai kehilangan ceritanya. Kisahnya. Dan rotasinya. Aku benar-benar merasa semuanya baikbaik saja. Aku cukup mendengarkan mereka. Meski bosan. Berusaha tersenyum dan menimpali sesekali. Selebihnya, aku menjalani semuanya dengan tanpa keinginan apapun. Tanpa ambisi atas apapun. Karena bagiku, hidup hanya tentang membuka mata lantas bernapas. Beraktifitas sesuai rutinitas yang ada.

Aku cukup bangun pagi-pagi sekali. Merapikan kamar kost. Belajar. Lantas siap-siap untuk pergi ke kampus. Kuliah. Duduk bersama teman usai berdiskusi. Kemudian pulang ke kost. Belajar. Beristirahat. Aku bahkan tidak memiliki teman yang dekat. Isi ponselku pun itu-itu saja. Aku juga tidak aktif di sosial media. Teman kampus tidak ada yang melanjutkan inisiatifnya untuk dekat denganku karena aku sendiri entah mengapa membangun tembok yang sangat tinggi di ruang pertemanan antara aku dan mereka.

Tidak ada yang menarik. Sungguh. Begitu saja.

Hingga akhirnya, takdir membawaku untuk bertemu denganmu. Tidak ada yang istimewa. Hanya pertemuan singkat yang justeru sulit untuk diingat meski sekadar mengingat warna sepatuku saat itu. Kamu berjalan. Menanyakan keberadaan salah satu dosen yang mengajar di fakultasku, lantas kamu tidak sengaja melihat lembaran gambar tanganku yang berisi gambar sebuah mata dengan linangan air mata.

"Gambar sendiri?" Tanyamu terlihat sangat antusias.
"Iya."
"Ini serius. Itu keren banget."
Aku tersenyum saat itu. Dan mengucapkan terimakasih.
"Nama kamu siapa?"
"Linggar."
"Oke, Linggar. Saya Rian."
Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Seperti biasa, aku memiliki tembok yang menjulang tinggi dalam ruang pertemanan. Apalagi pada orang yang baru saja bertemu seperti pada saat itu. Aku melihat kamu hanya mengangguk kemudian memberikan isyarat untuk pamit lebih dulu.

Aku mengira pertemuan denganmu hanya akan terjadi satu kali. Aku bahkan tidak menyangka bahwa keesokan harinya, kamu akan menyempatkan diri untuk duduk di sampingku. Kamu menarik lembaran gambarku dengan paksa.

"Sesekali pengen liat kamu gambar."
"Kenapa? Yang bisa gambar kan bukan cuma aku," ucapku sedikit malas menanggapi kata-katanya. Tidak ada yang istimewa pada gambarku. Aku kembali menarik lembaran kertas gambarku kemudian memilih bergegas untuk pergi. Kamu diam saja. Aku tidak peduli kamu akan tersinggung atau merasakan hal yang buruk terhadapku. Aku bahkan tidak menengok sama sekali.

Kemudian seterusnya, diganggu olehmu, menjadi salah satu rutinitasku. Kamu tidak berhenti untuk memaksaku menggambar sesuatu di depanmu. Hingga akhirnya aku lelah menghindar. Dan menyuruhmu sedikit mundur kemudian diam tidak boleh bersuara sedikitpun. Kamu menurut saja. Aku sempat ingin tertawa melihat sikapmu.

Pada saat itu, keadaan berubah. Aku merasakan sebuah de javu. Rasanya bukan seperti aku yang sedang berusaha menggambar sesuatu di depanmu. Melainkan kamu yang ada di hadapanku. Tersenyum lebar dengan tatapan mata yang jernih saratkan banyak sekali kebahagiaan. Tanganku sedikit gemetar. Dadaku tiba-tiba saja berdebar. Dan pensil di tanganku, bergerak dengan lugas menggambar keindahan yang tidak terlihat sebelumnya. Aku tidak ingat sudah menghabiskan berapa puluh menit untuk menggambar. Namun setelah menyeka sedikit keringat di dahi, dan membenarkan rambut sebahuku yang tertiup angin, gambarnya selesai. Aku terperangah sendiri melihat sketsa wajahmu di tanganku. Kamu sedang tersenyum. Aku langsung mendekap lembaran kertasnya dengan erat. Buru-buru merapikan buku dan alat gambarku. Memasukkannya ke dalam tas.

"Ada apa? Kok langsung pada dimasukin ke tas? Saya kan belum liat hasilnya," ucapmu protes dan melangkah maju mendekatiku. Aku berusaha tenang.
"Ya aneh aja. Masa gambar sketsa wajah kamu."
"Serius? Saya mau lihat!"
"Nggak mau."
"Linggar, lihat sini!"
"Lihatnya setelah aku jauh ya? Nih."
Aku kembali merogoh tasku untuk mengambil lipatan kertasku yang berisi sketsa wajahmu. Aku buru-buru melangkah menjauh. Rasanya malu sekali. Kenapa harus sketsa wajahmu? Padahal banyak sekali objek yang dapat aku gambar.

Sejak saat itu, kamu mulai menjadi salah satu rutinitasku. Aku merasakan kakiku mulai berpijak pada hal-hal yang normal. Bersamamu, aku memiliki banyak sekali kisah untuk diceritakan. Begitupun dengan dirimu. Aku menceritakan tentang rasa lelah karena jadwal kuliah yang tidak menentu. Bercerita tentang ibu kantin yang anaknya baru saja melahirkan. Berceloteh tentang kejadian di perpustakaan di mana aku menjatuhkan banyak sekali buku dengan tidak sengaja. Aku juga sampai pada kisah di mana aku memiliki dorongan yang kuat sekali untuk membaginya denganmu. Tentang kedua orang tuaku. Papa yang menikah lagi. Mama yang kabur entah ke mana. Aku yang terbiasa melakukan segalanya sendirian dan tak memiliki keinginan apapun atas hidup ini. Aku kuliah di sini, karena aku hidup. Setelahnya, aku akan bekerja karena aku masih diberi kehidupan oleh Tuhan. Aku melakukan semuanya hanya karena satu alasan. Aku hidup dan kehidupan masih bersamaku. Itu saja. Aku tidak ingin menghianati siapapun. Aku tidak ingin lari dari apapun. Tak pernah berniat bunuh diri atau menghilang merusak satu-satunya anugerah yang sudah sudi Tuhan berikan padaku. Yaitu, hidupku. Maka, aku biarkan saja semuanya seperti ini. Aku menikmati hidupku. Meski hanya untuk sekadar membuka mata lantas bernapas.

Kamu mengatakan padaku bahwa, ada hal lain dalam hidup selain daripada membuka mata lantas bernapas. Bahwa di dalam menjalaninya, aku membutuhkan keinginan-keinginan. Itulah sebabnya aku tidak memiliki cerita apapun. Kisah apapun dan bahkan seperti keluar dari rotasi kehidupanku sendiri. Semua karena aku kehilangan keinginan-keinginan di dalam hidupku. Akhirnya aku menemukan kepingan yang hilang. Lembaran yang dilupakan. Penyebab dari apa yang sudah bertahun-tahun menimpaku. Dan kamu tahu? Aku menemukannya di dalam dirimu.

Sekarang aku harus bagaimana, Rian?

Kamu memintaku untuk mulai memikirkan tentang keinginan-keinginan. Bagaimana dengan keinginan untuk memilikimu? Kamu setuju? Perempuanmu setuju?




Cideng, 30816
Euis Shakilaraya

Rabu, 17 Agustus 2016

PENGALAMAN BERLANGGANAN INDIHOME 100% FIBER

Malam ini pengen berbagi pengalaman tentang pengalaman berlangganan Indihome dari Telkom. Hehe
Semacam pengalaman yang Indonesia banget kali ya. :-p #alibi
Sebenarnya, udah lama pengen nulis soal ini menanggapi beberapa ulasan negatif tentang berlangganan Indihome.

Untuk yang belum tahu,
Indihome 100% Fiber
Triple Play :
- Internet up to 100mbps
- TV kabel 89 Channel
- Telepon 1000 menit
Dalam satu paket.

Ada beberapa paket pilihan yang tersedia. Kalau saya, pakai yang unlimited. Ketika pasang, memang sedang ada promo diskon 50 persen sampai bulan Desember. Benarbenar membantu untuk saya yang memang kesehariannya cuma makan, tidur, youtube-an, dan jualan onlen. Jualan tas lipat gitu, Sist. #mendadakpengenpromo :-D
Oke, lanjut ke Indihome.

Saya pernah baca mengenai sisi negatif tentang pemasangan Indihome di mana katanya, tagihan perbulannya tidak menentu. Berubah-ubah dan merasa dirugikan. Sebelum saya pasang di rumah saya yang di Cirebon, di rumah yang di Bandung kebetulan sudah pasang. Dan saat ada ulasan tentang tagihan yang tidak stabil itu, saya jadi meng-oh-kan dan meng-iya-kan tanpa tahu asal muasal pemasangan Indihome yang di Bandung. Saya cuma betugas beberapa kali membayarkan tagihannya ke Telkom. Dan ya... Memang mahal. Sekitar 395.000,-.

Hingga akhirnya, saya merasa sudah kewalahan dengan paket internet reguler dari beberapa provider. Kuota terbatas dan rawan gangguan jaringan. Jualan onlinenya jadi terganggu. Dan tebak apa? Setelah saya rembugan dengan ketua RT, RW, remaja masjid dan ketua Karang Taruna di sekitar rumah saya, saya memutuskan untuk berlangganan Indihome. Fixed. Harus berlangganan. Dengan semangat membara, saya menghubungi teman saya yang terbiasa promo Indihome di BC bbm.

Awalnya, memang takut. Sama halnya ketakutan banyak orang soal tagihan perbulannya yang tidak stabil. Tapi setelah mendengarkan penjelasan dengan smart, ketakutan saya hilang. Sebagai pelanggan, kita juga harusnya smart. Tidak menyerahkan seluruh hidup kita kepada marketing mereka. Kita berhak untuk bertanya sedetail-detailnya. Menurut pengalaman saya hampir 4 bulan terakhir ini, cicilannya stabil. Sesuai yang dirincikan dan dijelaskan sejak awal. Atau mungkin jika ada yang benarbenar tidak stabil tagihannya, kita berhak menanyakan. Lagipula, setiap pembayaran, di kwitansinya ada rincian jelasnya. Kalau memang ada yang tidak dipahami dan tidak masuk akal dalam rinciannya, boleh kok protes. :-)

Maka dari itu, apabila dikatakan tagihan perbulannya sekitar 200-an, agar tidak kaget, sebaiknya langsung tanyakan, 200-an itu termasuk sewa modem dan lainlainnya tidak. Ada biaya administrasi lainnya tidak. Ada tambahan lainnya tidak. Agar kita mendapatkan nominal yang mendekati nominal pastinya.

Seru pake unlimited. Bisa youtube-an sepuasnya. Main Instagram sampe nge-stalk seluruh artis tanah air tanpa takut kehabisan kuota. Browsing semaunya. Download sampe tepar. Tanpa gangguan. Bisa nonton tv kabel dengan 89 channel. Sampe mabok milihnya. Banyak channel favorit juga di sana. Aaaaargh. Tidak rugi sama sekali pokoknya. Keren.

Saran saya, tidak perlu takut untuk berlangganan Indihome. Asal seperti yang saya bilang, harus smart. Harus menanyakan semuanya di awal. Jangan sampe karena kelalaian kita sendiri, tagihannya mahal. Kemudian malah menyalahkan pihak penyedia jasa. :-p

Untuk yang belum berlangganan, mending buruan deh ke Telkom terdekat. Oya, denger-denger sih dua hari ini, untuk daerah Cirebon, sedang ada promo diskon 50 persen sampai bulan Desember untuk paket yang unlimited. Buruan buruaaaaan. Cuma dua hari ini lho, Gaes. :-*

Cukup dulu kali ya.
Kwitansi pembayarannya bakal saya foto dan posting di sini. Tapi mungkin besok kali ya. Dicari dulu.
Kalau ada yang mau ditanyakan. Boleh komen koook. Pasti saya balas. Bye bye ~

Kamis, 04 Agustus 2016

Senja dan Kamu

Senja mulai turun saat kau menyapa sepiku dengan lembut. Kau bertanya, apakah aku ingin menemuimu atau tidak. Senyumku mengembang. Pertanyaanmu membuat hatiku menghangat. Bagaimana bisa kau bertanya apakah aku ingin menemuimu atau tidak sedangkan dalam setiap detik yang terhempas dalam hitungan waktuku, aku hanya memikirkan dirimu. Pun merindukanmu.

Senja tenggelam dalam luasnya malam. Memancarkan dirinya menjadi penerang bagi rembulan. Cahayanya menerangi wajahku. Angin yang berembus kencang, menerjang tubuhku. Mempermainkan rambut sebahuku. Aku terus berjalan menuju tempat yang kau bisikkan. Tempat di mana kau akan menjumput asaku agar beradu dengan matamu. Aku bersumpah akan memelukmu dengan sangat erat jika aku sudah melihat senyummu merekah di hadapanku.

Kau datang dengan senyum seindah purnama. Kemudian mengulurkan pakaian hangat "Pakailah!" Ucapmu. Aku hanya mampu melayang setinggi khayal menerima kebaikanmu. Tak perlu menunggu lama untuk menahanku agar tak segera memelukmu. Karena tak sampai lima menit, kau sudah ada di dalam dekapanku. Kau menggenggam jemariku dengan lembut.

"Dingin," katamu.

"Memang," ucapku.

Kau tersenyum.

"Biasanya hangat."

Hening.

Tak kuasa menjelma ramai untukmu, aku hanya mampu menjadi hening yang membungkus kerinduan antara aku dan kau.

Senin, 06 Juni 2016

Cinta (?)

Jika kau ingin memberikan judul pada tulisan ini, silakan. Karena otakku sudah terlampau penuh memikirkan hiruk pikuk yang terjadi beberapa pekan ini. Kau pikir apa? Apa yang membuatku sedemikian gila karena membiarkan diriku menjelma menjadi sebuah kursi di dalam bioskop yang temaram. Merubah diriku menjadi sebatang pohon hijau yang menjulang di sebuah pelataran parkir salah satu mal paling besar di kota ini? Membiarkan tubuhku mengurai, memisahkan seluruh partikelnya kemudian menderu bersama hempasan angin yang membuntutinya ke mana pun ia pergi. Kau pikir mengapa aku segila itu? Ah, entahlah.

Aku seperti sedang menekuri sebuah buku berisi denyutan nadi sepasang tangan yang saling menggenggam. Genggaman itu menceritakan banyak hal kepadaku. Tentang rasa ingin memiliki dan keinginan untuk menumpahkan seluruh rasa yang meletup-letup. Genggaman erat yang menggambarkan beberapa hal yang tak terlihat pada mulanya, menjadi terasa begitu jelas. Tunggu! Kau pikir apa? Ini tentangku dan dirinya? Oh ayolah! Yang benar saja!!! Jika aku sungguh-sungguh menemukan genggaman tangan seseorang seperti ia, di mana genggamannya membuat tubuhku menggigil karena berperang melawan perasaan antara ingin memeluknya atau membawanya pergi sangat jauh, aku pasti akan menceritakannya di sini. Pasti! Aku tidak akan pernah mungkin melewatkan satu kata pun jika aku harus menceritakan tentangnya.

Tentang ia yang meski hanya diam di tempatnya, namun keseluruhan tentang dirinya justeru mendobrak kehidupanku. Membuatku gelisah sepanjang malam dan terpaksa harus mengganggunya dengan pesan-pesan yang entah namun berharap sekali mampu membuatnya tertarik agar dapat terus menerus membalas pesanku. Ia tak pernah mengabaikanku. Aku tidak tahu. Dia memang seperti itu. Keceriaannya seolah membentuk atmosfer menyenangkan dalam semestanya. Membuat siapapun yang mendekat, akan memiliki gairah yang sama dalam menjalani hari. Ia bukan perempuan yang membuat lelaki akan jatuh cinta pada pandangan pertama. Sangat berlebihan jika aku menggambarkan dirinya bak bidadari yang turun dari langit ke tujuh. Aku bahkan yakin ia akan tertawa jika aku mengatakan bahwa senyumnya amat mempesona seperti bidadari yang baru saja diutus Tuhan untuk menemui cinta sejatinya. Jika ia membaca ini, ia sudah muntah atau kejang-kejang. :D

Ia hanya sosok sederhana yang membiarkan dirinya cantik dengan kesederhanaannya. Perempuan yang akan tertawa jika ada hal yang menggelikan dan akan diam jika memang ada hal yang tidak disukainya. Mengenalnya tidak merepotkan sama sekali. Tidak perlu mencari kegemarannya, ia akan menceritaknnya sendiri. Tak perlu susah payah mencari cara agar terlihat sifat aslinya, karena semua yang ia tampilkan dan lakukan memang dirinya. Apa adanya. Tanpa senyum atau kebaikan yang palsu. Aku telah menawarkan seluruh hidupku untuk dirinya, ia tak menolak. Namun ia selalu mengatakan bahwa dirinya tak dapat membalasku. Tak dapat memberikan apapun sama halnya yang telah aku berikan padanya. Dengan keras kepalanya, ia tetap diam di tempatnya. Tak memiliki keinginan untuk berontak sama sekali. Tak peduli seberapa gigihnya aku, ia hanya diam menerima semuanya.

Aku memberanikan diri untuk menculiknya. Memisahkannya dari dunianya meski kurang dari dua puluh empat jam. Mengenyahkan keraguan yang masih tampak jelas terlihat dari matanya. Hei tunggu!!! Apa aku sudah gila???!!! Ini bukan kisahku dengannya. Aku tidak akan jatuh hati pada perempuan yang tak dapat membalas perasaanku. Tidak akan! Aku juga tidak akan pernah menculik perempuan hanya untuk memastikan bahwa diriku tidak bertepuk sebelah tangan. Bukan gayaku! Anggap saja itu kisah tetanggaku. Baiklah, kembali pada sebuah buku yang berisi denyutan nadi. Aku belum selesai menceritakannya.

Tak hanya denyutan nadi dari sepasang jemari yang saling menggenggam. Aku pun merasakan degub yang ritmenya sangat cepat seolah sedang saling berkejaran. Seiring dengan itu, hela napasnya pun semakin menderu seperti sedang larut dalam gairah yang entah. Aku merasakannya bagaikan dua hati yang saling mendekap karena sudah tak mampu lagi menahan perasaan yang menggila. Saling menumpahkan perasaan yang membuncah menjadi banyak hal yang menyakitkan. Aku menutup kedua mataku. Membayangkan gelombang perasaan yang sangat hebat itu, kemudian yang terbayang justeru pasangan yang tentunya sedang kasmaran dan saling bercumbu. Sang lelaki mendekap erat dan mesra tubuh perempuannya kemudian dengan lembut memagut bibir merahnya. Berusaha memberitahukan kepada perempuannya bahwa dia sungguh-sungguh akan ungkapan cintanya. Tiba-tiba ada yang menyesak dalam hatiku. Aku membuka mataku dengan beberapa butir air mata yang menyudut di ujung mataku kemudian terjatuh.

Aku mengingat betul perasaan itu. Perasaan mencintai yang amat dalam. Perasaan entah yang bahkan aku pun tak tahu mengapa aku harus merasakannya. Mencintainya, mencintai hati yang telah mengikatkan diri dengan hati yang lain. Mencintai jiwa yang sudah dimiliki lelaki lain, benar-benar menyiksa. Menyakitkan. Namun beberapa hal yang aku tahu, bahwa aku sangat ingin membahagiakannya. Ingin selalu ada untuknya. Ingin mewujudkan apapun yang menjadi keinginannya. Tak peduli seberapa anehnya hubungan yang terjalin antara aku dengannya, aku sangat ingin menjadi tempat bersandar dalam seluruh gelisahnya. Aku merasa benar-benar tak tahu harus melakukan apa atas semua ini. Membingungkan. Tak jarang pula ia menolak hal-hal yang aku tawarkan agar ia senang. Seolah semua usahaku, tak ternilai sama sekali baginya.

Saya salah kalau saya pengen nyenengin kamu? tanyaku saat itu. Ia hanya terdiam kemudian tertunduk.
Aku mencintainya tanpa tahu apakah ini benar-benar cinta, atau sekadar perasaan semu yang datang dengan menggebu, kemudian akan hilang seiring berjalannya waktu. Aku mencintainya tanpa ingin tahu apakah ini benar-benar cinta, atau sekadar perasaan sesaat yang datang membawa sekarat, kemudian akan lebur seiring dengan rasa sakit yang hebat.

Tunggu?! Jadi ini kisahku atau tetanggaku?

Selasa, 05 April 2016

PENCARIAN


Sebuah cerpen
Oleh Euis Shakilaraya

Dipersembahkan untuk sahabat; Hendy Wijaya

Ini merupakan hisapan terakhir dari sebatang rokok yang sudah hampir dua puluh menit berada terjepit di antara jari telunjuk dan jari tengahku. Aku menghembuskan asapnya ke langit kemudian membiarkannya mengepul menjadi sebuah lingkaran cincin yang perlahan koyak. Tak lagi berbentuk. Langit Jakarta sedang cerah. Aku tak peduli dengan gelas kopi di sampingku yang justeru semakin pekat akan kental ampasnya, karena airnya sudah hampir tandas. Bahkan benar-benar tak peduli pada seseorang di sampingku. Seandainya saja dia tidak bersuara, dengan senang hati aku lebih berkenan menganggapnya sebagai batu.

"Lu tahu kalau udah hampir satu windu lu diem aja kayak gini? Ngobrol kek. Biar gue nggak ngerasa kayak duduk bareng batu," protesnya.

Sejujurnya, sudah sejak dari awal dia duduk di sampingku, aku sudah menganggapnya sebagai batu. Aku masih terdiam. Menatap langit yang cahaya bulannya mulai meredup.

"Itu langit nggak akan tiba-tiba runtuh kok. Tenang aja. Lu nggak usah liatin langit sampe segitunya," protesnya (lagi).

Ah, seandainya benar dia hanya sebongkah batu.

"Woiii! Jawab gue kek!"
"Siapa yang nyuruh lu duduk di samping gue?" Tanyaku tanpa menoleh padanya.
"Nggak ada."
"Kayaknya lebih baik lu diem kayak gue. Biar lu bisa denger suara angin yang bertasbih," ucapku dengan mengangkat kedua tangan ke langit. Seseorang di sampingku terbahak. Seperti baru mendengar sebuah lelucon. Tawanya memecah malam yang semakin larut.

"Njiiir bahasa lu!" Dia meninju lenganku.

Aku terkekeh geli melihat responnya. Namanya Aji. Entah tergolong spesies apa. Dia hanya makhluk Tuhan yang paling ingin aku singkirkan dari muka bumi. Mungkin jika saja ada mantera yang dapat melenyapkan seseorang, Aji akan menjadi yang pertama aku lenyapkan. Pembawa sial. Karena dengan sialnya, aku hampir tidak pernah melewatkan satu hari pun tanpa dirinya. Benar-benar sial. Dia sahabat yang baik.

"Gue lagi mikirin sesuatu yang mendalam dari kehidupan gue," ucapku serius. Aji menyeruput kopinya dan menganggukkan kepalanya seolah siap mendengar apa yang akan aku ucapkan selanjutnya.
Aku menyanggah punggungku dengan kedua lengan. Memposisikan diri senyaman mungkin. Kemudian menutup mata. Merasakan desau angin yang membisikkan nama Tuhan. Nyanyian malam mulai terdengar merdu.

"Sebenernya, apa tujuan hidup kita?" Pertanyaan yang keluar dari mulutku begitu saja membuat suasana semakin hening. Aku hanya mendengar sekilas kalau Aji sedang menghisap rokoknya. Sedangkan aku masih memejamkan mata.
"Beribadah? Lu tau, Ji. Ustadz Harun nggak pernah nyuruh gue shalat sama puasa sama sekali. Dan sikapnya, bikin gue gelisah," tambahku.

Aku membuka mataku kemudian menatap Aji dengan tajam.

"Jangan liatin gue! Gue nggak paham soal ibadah. Gue nggak ngaji kayak lu!" Aji mengepulkan asap rokoknya ke langit.
"Tepat! Intinya apa?"
"Apa?"
"Ya, Apa?" Tanyaku sedikit memaksa.
"Ya lu mau ngomong apa, Kampret." Aji terbahak. Membuang puntung rokoknya. Kemudian mengambil satu batang lainnya dan kembali menyalakannya.
"Ya intinya urusan ibadah itu jadi urusan pribadi lu sama Tuhan," jelasku. Aku teringat kembali dengan ustadz Jaka yang berbeda dengan ustadz Harun. Beliau selalu menekankan padaku bahwa beribadah kepada Tuhan tidak dapat ditawar. Merupakan suatu bentuk syukur kepada Yang Maha Esa. Lantas demi kepuasan bathin dari jiwa yang diselimuti dahaga sepertiku, aku memilih berhenti beribadah. Berhenti menyentuhkan dahiku di atas sajadah. Berhenti membuat tubuhku fokus menatap ke arah kiblat. Toh Tuhan bisa diajak berkomunikasi dengan banyak cara, 'kan? Mengapa harus shalat hanya untuk berkomunikasi denganNya?
Mengingat kebodohanku itu, tubuhku menggigil hebat. Aku mengambil paksa rokok di jari Aji. Kemudian menghisapnya dengan kuat. Aku membuang pandanganku ke sembarang arah. Aji yang keheranan, menepuk bahuku.

"Lu kenapa?" Tanya Aji.
"Gue nggak kenapa-napa."
"Lu mending stop ngomongin hal yang gue nggak paham," ucap Aji.

Aku duduk memeluk lutut sembari menggoyangkan tubuhku ke depan dan ke belakang. Seperti banyak sekali belati yang menghujam tepat di ulu hati. Diriku gelisah. Pikiranku selalu berusaha mengenyahkan tentang kegelisahanku. Namun hatiku memaksaku memikirkannya. Sudah berapa lama diriku tak membasuh wajah dengan wudhu? Entahlah. Aku tak pernah ingin mengingatnya. Aku pernah belajar di sebuah pondok pesantren yang membuatku tidak terlalu buta akan agama. Tapi kemudian apa? Tanpa belajar di sana pun aku sudah beragama. Tanpa menghabiskan waktu bertahun-tahun, aku sudah dapat melalukan shalat, berpuasa dan mengaji Al Quran. Apa perbedaan aku dengaan Aji yang hanya belajar di sekolah umum? Aku merasa tubuhku semakin merosot lemah. Gema jiwa yang merindukan Tuhannya, tak dapat aku bendung. Geletar hati yang patah karena dijauhkan dari Tuhannya, tak dapat aku kuasai lagi. Suaraku gemetar.

"Gue udah lama nggak shalat," ucapku membuat pengakuan kepada Aji yang bahkan aku sudah tahu dia akan menjawab apa. Dia pasti akan menimpali bahwa dia malah tidak pernah shalat.

"Yaelah. Gue mah nggak pernah shalat. Lebih parah dari lu."

Benar 'kan?
Tebakanku tepat sekali.

"Gue gelisah, Ji."
"Lu kenapa nggak shalat?"
"Gue..."
"Lu kenapa nggak shalat. Lu kenapa gelisah. Itu dua pertanyaan yang lu harus tahu jawabannya, kalau emang lu mau nyembuhin perasaan gelisah itu."

Itu Aji yang mengatakan hal itu? Atau dia kesurupan?

"Gue nggak pernah shalat dan gue nggak gelisah, Ga."

Aji kesurupan.

"Karena apa? Gue nggak kenal sama Tuhan gue. Ada semacam kerinduan yang hati gue tunggu buat sampe merasakan gelisah kayak lu. Gue selalu nunggu perasaan gelisah itu. Perasaan gelisah bisa jadi awal dari datangnya hidayah Tuhan. Dan gue? Jauh dari jangkauan itu. Sedangkan, lu dengan mudahnya bilang kalau lu gelisah karena nggak shalat. Lu bego banget!" Aji tak berhenti bicara. Emosinya menyala. Aku dapat melihat dari matanya.

Aku mulai yakin Aji butuh diruqiyah.

"Gue serius, Raga. Nggak kesurupan dan nggak butuh diruqiyah."

Penjahat! Dia tahu isi pikiranku.

"Hubungan sama Tuhan, tingkat kerumitannya cuma masingmasing dari jiwa yang paham. Lu harus segera minta maaf sama Dia."

Kalimat terakhir Aji membuatku seakan tertampar. Aku duduk kembali pada posisi semula. Menyanggah punggungku dengan kedua lengan. Aku menghela napas panjang sembari membuang pandanganku ke langit. Benarkah itu, Tuhan? Benarkah yang dikatakan Aji? Benarkah jiwa ini sudah sampai pada titik rindunya akan Engkau? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Berlari menemuiMu dalam keheningan sujud? Kini aku tahu mengapa ustadz Harun tak pernah memintaku untuk beribadah. Karena dia tahu, bahwa aku tak akan pernah sanggup jauh dariMu. Dia tahu bahwa jiwaku tak akan pernah sanggup berhenti akan kepercayaan tentang rahmatMu. Begitu pula dengan ustadz Jaka yang senantiasa membimbingku. Karena dia tahu, rinduku harus diberi jalan. Aku harus dituntun untuk selalu membuka mata hatiku agar senantiasa berada di jalanMu.

Shalat bukan sesederhana tentang komunikasi dengan Tuhan. Bahkan lebih mendalam daripada itu. Kebutuhan jiwa. Penyubur jiwa. Shalat bukan sekadar kewajiban. Akan tetapi kebutuhan. Sama halnya dirimu yang tak akan pernah mampu berdiri tegap tanpa adanya makanan yang kau serap menjadi energi, tanpa shalat, kau tidak akan pernah mampu merasakan kedamaian jiwa. Tidak akan. Dan Aji benar... kegelisahan ini tidak dirasakan semua jiwa. Ini adalah hidayahNya.

Ada yang membasah di ujung pelupuk mataku. Hatiku mendadak menjadi teramat haru.

"Baguslah kalau lu nggak kesurupan, Ji."
"Dibilangin gue nggak kesurupan!"
"Ya gue nggak nyangka aja. Yang keluar dari mulut lu bisa jadi kata-kata indah pembangun jiwa. Kayaknya, lu udah waktunya ikut ngaji sama gue ke Ustadz Harun."
"Yang keluar dari mulut gue palingan ludah doang. Dan gue nggak mau ngaji." Aji keras kepala.

Aku mengambil satu batang dari bungkus rokoknya, kemudian menyalakan api untuk membakar ujungnya. Perlahan menghisapnya. Bara api terlihat bersemangat saat aku menghisap sedikit demi sedikit batang rokok tersebut. Ada yang bergetar di hatiku. Aku membiarkannya terus bergetar. Agar kerinduannya semakin memuncak. Entah di sadari atau tidak, bulannya kembali bercahaya. Dan entah diberkahi oleh Tuhan atau tidak. Baru kali ini aku merasa bahwa Aji tidak harus aku lenyapkan dari muka bumi. Setidaknya, dia masih menunjukkan dirinya sedikit berguna.
"Udah deh. Nggak usah ngomongin gue di dalem hati kayak gitu," cecar Aji.
"Hahaha."
Aji keparat! Dia cenayang!
Kami terbahak membiarkan malam membingkai peristiwa ini. Membiarkan kepulan asap rokok kami berdua berpadu dalam harmoni kerinduan akan Tuhan.

-SELESAI-

Sabtu, 16 Januari 2016

PEREMPUAN YANG SEDANG DALAM PELUKAN

PEREMPUAN YANG SEDANG DALAM PELUKAN
Oleh Euis Shakilaraya






“Maka biarkan ia tetap nyata meski dalam mimpi-mimpi yang panjang. Pun biarkan ia tetap hidup meski dalam semesta yang tak terjamah.”

Aku tak pernah tahu apa yang sebenarnya lebih menyenangkan dari sekadar melihat kau tertawa. Bahwa dalam semestamu, tak pernah ada sedih atau senang. Suka maupun duka. Karena menurutmu, hidup hanya tentang bagaimana kau bisa menjadikan seluruh rasa yang tercipta dari keadaan, menjadi sesuatu yang menyenangkan. Bagiku, justeru hidupku tak akan pernah semenyenangkan ini tanpa dirimu. Hanya itu satu-satunya hal yang dapat aku pahami meski aku tak pernah mendapatkan jawaban atas tanyamu. Kau selalu menggodaku dengan bertanya, mengapa? Mengapa aku begitu istimewa untukmu? Hahaha gemas sekali melihat caramu menanyakan hal itu dengan bergelayut manja. Bahagia sekali mendengar suara lembutmu. Terlebih cara tertawamu yang membuat dadaku penuh. Seketika terisi. Tak jarang pula membuatku merasa sangat sesak oleh buncah kegirangan ala anak kecil yang dihadiahi permen gula. Aku tak tahu. Maaf, tapi aku sungguh tak pernah tahu. Mengapa? Mengapa kau begitu istimewa? Apa karena kau memiliki cara tertawa yang sangat menyenangkan? Di mana seluruh semestaku ikut terbawa suasana menjadi sangat gempita. Tapi tidak, Kei. Aku pernah melihatmu terdiam dengan airmata menggenang di pelupuk matamu. Kau tidak tertawa. Tapi... arrrgh! Kau tahu? Kau tetap istimewa. Aku pun suka sekali caramu menangis. Kau hanya butuh terdiam beberapa menit. Menumpahkan seluruh airmatamu. Kemudian kau menghela napas panjang dan menyekanya kasar. Kau menangis dalam sendu yang tak terdefinisikan. Dalam diam yang tak memiliki ruang untuk terisak. Mungkin, aku menganggapmu istimewa karena itu adalah kau, Kei. Dirimu. Sungguh, dirimu. Persetan jika ada perempuan lain yang memiliki cara tertawa lebih menyenangkan darimu, aku tetap lebih memilihmu. Karena itu adalah kau.
Kei, kau ingat hari itu? Hari di mana kita benar-benar menghabiskan waktu hanya berdua. Bahkan mentari dan senja hanya menjadi pelengkap saja. Kau bertanya dengan manja, apa aku cantik? Aku sontak tertawa. Hahaha. Demi Tuhan, Kei. Itu pertanyaanmu yang ke seratus sembilan puluh tiga dalam kurun waktu dua bulan kalau aku tidak dianggap berlebihan karena selalu menghitung pertanyaan itu. Kau memberengut. Aku menghentikan tawaku seketika. Aku tidak ingin kau memberengut seperti itu. Aku tidak akan membuatmu memberengut kesal maupun sedih. Tidak akan. Maka aku hanya mampu memegang dagumu kemudian memagut bibir merahmu dengan lembut. Kau menggeliat kemudian melepaskan ciumanku. Hei... liciiik. Dilarang cium. Jawab dulu saja pertanyaanku! Hahaha ekspresi wajahmu sangat lucu, Kei. Sumpah demi apapun! Mengapa yang seperti kau ini hanya diciptakan satu saja oleh Tuhan? Mengapa tidak dilahirkan dalam jumlah yang banyak. Ah! Damn! Kemudian aku hanya dapat menggenggam tanganmu. Menatap matamu dengan tatapan yang dalam. Kau tidak cantik, Kei. Kau istimewa karena itu kau. Kau istimewa karena itu dirimu. Lantas kau tersipu. Pipimu bersemu merah. Kau dan aku kembali larut dalam gelora yang entah.
Indah ‘kan, Kei?
Benar-benar indah, bukan?
Hari yang sangat menyenangkan, ‘kan?
Hari pada saat aku benar-benar datang untuk menggenggam jemarimu. Untuk memeluk tubuhmu dan untuk memastikan tentang apa yang aku rasakan selama ini. Aku berharap, saat bertemu denganmu, perasaanku tiba-tiba berubah. Bahwa tak pernah ada perasaan ingin menyerahkan seluruh hidupku kepadamu. Pun tak akan pernah ada perasaan takut kehilangan yang membuat gila. Aku berharap hatiku bergumam, Demi Tuhan! Kei tak pernah benar-benar nyata. Ia tak sebaik yang aku kira selama ini. Ia tak seperti yang aku bayangkan selama ini. Tapi damn! Kau tahu, Kei? Yang aku harapkan justeru menjadi bumerang untuk diriku sendiri. Aku terjatuh semakin dalam begitu sengaja membuat kedua mataku dan kau saling bertemu. Aku bahkan semakin terjerembab dalam euforia gila karena amat terpesona dengan cara tertawamu. Gerak gerikmu. Dan semua hal yang kau lakukan. Gila!
Hari itu benar-benar gila ‘kan, Kei?
Aku berharap waktu berhenti saat itu juga. Menyisakan aku, kau dan semesta kita. Aku mendekap tubuhmu sangat erat. Kau tersenyum amat manis. Kemudian kau membalik tubuhmu sehingga aku dan kau saling berhadapan dengan kepalamu yang disandarkan ke lenganku. Kau menggamit jemariku dan mulai berbicara sembari mengusapnya satu per satu. Katakan padaku, kau menyukai kebersamaan kita ini atau tidak? Pertanyaan macam apa, Kei. Ya, JELAS! Ini sungguh menyenangkan. Mendekap tubuh perempuan yang benar-benar aku sayangi. Membiarkan degup jatung kau dan aku menyatu dalam ritme yang cepat atau melambat. Aku tak buru-buru menjawab. Aku tahu kau masih banyak pertanyaan. Maka aku hanya mampu membelai rambutmu dan menciuminya dengan berharap dapat terus melakukannya hingga entah kapan atau yang disebut selamanya meski entah juga apa yang dimaksudkan dengan kata selamanya. Aku akan sangat merindukan harum rambut dan tubuhmu. Aku merasakan sakit di lenganku. Hei... kau mencubitku, Kei! Kau tertawa. Ya, jawab, malah sibuk sama pikiran sendiri, katamu merajuk. Aku mengembalikan memori otakku ke beberapa detik yang lalu. Apa? Soal kebersamaan kita? Demi Tuhan! Untuk apa kau terus menerus menanyakan hal itu sedangkan kau sudah tahu jawabannya. Aku sangat menyayangimu, Kei. Tentu aku sangat menyukai kebersamaan kita. Aku pura-pura berpikir. Melihat ke langit-langit kamar. Mengumpulkan susunan kata agar dapat terdengar sempurna di telingamu. Aku sangat menyukai kebersamaan kita, Kei. Sama halnya dedaunan yang menyukai kebersamaannya dengan angin. Tak peduli akan terhempas sejauh apa. Tak peduli akan terjatuh sedalam apa. Aku tetap menyukai kebersamaan kita. Dapatkah selamanya, Kei?
Saat itu, aku benar-benar yakin kau dapat merasakan degup jantungku yang ritmenya menjadi sangat cepat. Aku menjadi semakin takut kehilanganmu. Bahkan membayangkannya saja membuat ada yang sakit di ulu hati. Ya, sakit sekali di sana, Kei. Aku merasa jemariku kau genggam sangat erat. Kita bisa selalu bersama, aku yakin, ucapmu saat itu. Aku tahu kau hanya sekadar menghibur saja. Tapi apa yang keluar dari mulutmu, semuanya mendamaikan. Membuat hatiku kembali tenang. Aku kembali memelukmu erat. Meyakinkan diriku sendiri bahwa memang kita akan selamanya menjalani indahnya kebersamaan ini.
Sial! Mengenangnya saja membuatku ingin meledak. Kepalaku terasa penuh. Katakan, Kei... bagaimana caranya aku dapat pergi, sedangkan berbalik arah dari dirimu saja, aku sudah lupa caranya.
Aku pernah tahu rasanya memeluk seorang perempuan. Tapi aku tak pernah tahu rasanya memeluk seorang perempuan akan menghadirkan perasaan damai yang tak terdefinisikan. Hingga akhirnya aku memelukmu, Kei. Itu adalah pertama kalinya aku merasa waktu terjeda. Hanya ada gulita, genggam tangan, pelukan erat kemudian kedamaian dan rasa nyaman. Entah apa yang ada dalam dirimu. Namun begitu memelukmu, aku merasa ingin berhenti. Aku benar-benar ingin berhenti. Aku ingin berteriak bahwa perempuan seperti kaulah yang selama ini aku butuhkan. Perempuan semenyenangkan dirimu, Kei. Hidupku tak pernah benar-benar menyenangkan tanpa dirimu. Sungguh... demi langit dan bumi... Sial!!! Sial!!!
Jika aku ditakdirkan untuk menjalani sekali lagi kehidupan yang lain, aku hanya ingin memilikimu, Kei. Seutuhnya. Tidak seperti saat ini. Aku begitu merasa hangat saat dapat memilikimu meski hanya satu hari dari ratusan hari yang kau habiskan dengan lelakimu. Namun di sisi lain, aku merasa amat terhujam saat meraih kenyataan bahwa satu hari yang kita lewati selalu sia-sia karena bagaimanapun bersikerasnya aku, aku tetap tidak dapat memiliku. Tidak dapat memelukmu selamanya. Tidak, Kei. Itu kenyataannya.
Lantas bagaimana untuk membunuh perasaan ini, Kei? Bagaimana?
Hahaha, dengan sialnya, kau malah mengatakan;

“Maka biarkan ia tetap nyata meski dalam mimpi-mimpi yang panjang. Pun biarkan ia tetap hidup meski dalam semesta yang tak terjamah.”




*Terinspirasi dari lagu Payung Teduh.