Abnormal
Oleh
Euis Shakilaraya
Ketidaknormalan hidup seseorang, terkadang membuat seseorang tersebut berjalan semakin melayang. Semakin tinggi dan tinggi kemudian kembali tersadar bahwa dirinya sudah terlalu jauh dan sulit untuk kembali menapaki kehidupan yang normal. Sama halnya diriku. Entah mengapa, membaur bersama yang lain kemudian mendengarkan yang lain menceritakan tentang kisah asmara, konflik keluarga, bahkan hanya sekadar berbagi penat tentang tugas-tugas perkuliahan yang menggila saja, terasa sangat aneh.
Jelas tidak ada yang salah pada mereka. Karena apa yang salah dari berbagi tentang kisah asmara? Percintaan ala anak kuliahan bahkan sampai ke perasaan-perasaan mengagumi kakak tingkat tanpa berani mengungkapkan. Tidak ada yang salah. Apa pula yang dapat disalahkan dari berbagi pedih tentang masalah-masalah yang terjadi di dalam keluarga. Papa dan mama bertengkar. Adik bandel. Papa senang marah-marah. Mama galak. Sungguh tak mengganggu sedikit pun. Karena pada teman, apapun akan tumpah ruah memaksa siapapun untuk mengungkapkan apa saja yang dirasakan. Dan bahkan aku tidak menemukan kesalahan sedikit pun pada celoteh mereka yang kelelahan karena tugas makalah menumpuk. Penelitian menanti. Jadwal presentasi membuat frustasi.
Yang salah, ada pada diriku. Di dalam diri ini.
Aku tidak dapat bercerita apapun. Aku tidak pernah tahu apa yang harus aku ceritakan. Aku merasa hidupku teramat normal tanpa ada yang serius di dalamnya. Meski justeru hal tersebut membuat orang lain berpikir ada yang tidak beres di dalam diriku. Ya memang ada yang tidak beres. Tapi bahkan diriku, tidak tahu di bagian mana kepingan yang hilang dalam hidup yang aku jalani. Pada halaman ke berapa lembaran kehidupanku mulai kehilangan ceritanya. Kisahnya. Dan rotasinya. Aku benar-benar merasa semuanya baikbaik saja. Aku cukup mendengarkan mereka. Meski bosan. Berusaha tersenyum dan menimpali sesekali. Selebihnya, aku menjalani semuanya dengan tanpa keinginan apapun. Tanpa ambisi atas apapun. Karena bagiku, hidup hanya tentang membuka mata lantas bernapas. Beraktifitas sesuai rutinitas yang ada.
Aku cukup bangun pagi-pagi sekali. Merapikan kamar kost. Belajar. Lantas siap-siap untuk pergi ke kampus. Kuliah. Duduk bersama teman usai berdiskusi. Kemudian pulang ke kost. Belajar. Beristirahat. Aku bahkan tidak memiliki teman yang dekat. Isi ponselku pun itu-itu saja. Aku juga tidak aktif di sosial media. Teman kampus tidak ada yang melanjutkan inisiatifnya untuk dekat denganku karena aku sendiri entah mengapa membangun tembok yang sangat tinggi di ruang pertemanan antara aku dan mereka.
Tidak ada yang menarik. Sungguh. Begitu saja.
Hingga akhirnya, takdir membawaku untuk bertemu denganmu. Tidak ada yang istimewa. Hanya pertemuan singkat yang justeru sulit untuk diingat meski sekadar mengingat warna sepatuku saat itu. Kamu berjalan. Menanyakan keberadaan salah satu dosen yang mengajar di fakultasku, lantas kamu tidak sengaja melihat lembaran gambar tanganku yang berisi gambar sebuah mata dengan linangan air mata.
"Gambar sendiri?" Tanyamu terlihat sangat antusias.
"Iya."
"Ini serius. Itu keren banget."
Aku tersenyum saat itu. Dan mengucapkan terimakasih.
"Nama kamu siapa?"
"Linggar."
"Oke, Linggar. Saya Rian."
Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Seperti biasa, aku memiliki tembok yang menjulang tinggi dalam ruang pertemanan. Apalagi pada orang yang baru saja bertemu seperti pada saat itu. Aku melihat kamu hanya mengangguk kemudian memberikan isyarat untuk pamit lebih dulu.
Aku mengira pertemuan denganmu hanya akan terjadi satu kali. Aku bahkan tidak menyangka bahwa keesokan harinya, kamu akan menyempatkan diri untuk duduk di sampingku. Kamu menarik lembaran gambarku dengan paksa.
"Sesekali pengen liat kamu gambar."
"Kenapa? Yang bisa gambar kan bukan cuma aku," ucapku sedikit malas menanggapi kata-katanya. Tidak ada yang istimewa pada gambarku. Aku kembali menarik lembaran kertas gambarku kemudian memilih bergegas untuk pergi. Kamu diam saja. Aku tidak peduli kamu akan tersinggung atau merasakan hal yang buruk terhadapku. Aku bahkan tidak menengok sama sekali.
Kemudian seterusnya, diganggu olehmu, menjadi salah satu rutinitasku. Kamu tidak berhenti untuk memaksaku menggambar sesuatu di depanmu. Hingga akhirnya aku lelah menghindar. Dan menyuruhmu sedikit mundur kemudian diam tidak boleh bersuara sedikitpun. Kamu menurut saja. Aku sempat ingin tertawa melihat sikapmu.
Pada saat itu, keadaan berubah. Aku merasakan sebuah de javu. Rasanya bukan seperti aku yang sedang berusaha menggambar sesuatu di depanmu. Melainkan kamu yang ada di hadapanku. Tersenyum lebar dengan tatapan mata yang jernih saratkan banyak sekali kebahagiaan. Tanganku sedikit gemetar. Dadaku tiba-tiba saja berdebar. Dan pensil di tanganku, bergerak dengan lugas menggambar keindahan yang tidak terlihat sebelumnya. Aku tidak ingat sudah menghabiskan berapa puluh menit untuk menggambar. Namun setelah menyeka sedikit keringat di dahi, dan membenarkan rambut sebahuku yang tertiup angin, gambarnya selesai. Aku terperangah sendiri melihat sketsa wajahmu di tanganku. Kamu sedang tersenyum. Aku langsung mendekap lembaran kertasnya dengan erat. Buru-buru merapikan buku dan alat gambarku. Memasukkannya ke dalam tas.
"Ada apa? Kok langsung pada dimasukin ke tas? Saya kan belum liat hasilnya," ucapmu protes dan melangkah maju mendekatiku. Aku berusaha tenang.
"Ya aneh aja. Masa gambar sketsa wajah kamu."
"Serius? Saya mau lihat!"
"Nggak mau."
"Linggar, lihat sini!"
"Lihatnya setelah aku jauh ya? Nih."
Aku kembali merogoh tasku untuk mengambil lipatan kertasku yang berisi sketsa wajahmu. Aku buru-buru melangkah menjauh. Rasanya malu sekali. Kenapa harus sketsa wajahmu? Padahal banyak sekali objek yang dapat aku gambar.
Sejak saat itu, kamu mulai menjadi salah satu rutinitasku. Aku merasakan kakiku mulai berpijak pada hal-hal yang normal. Bersamamu, aku memiliki banyak sekali kisah untuk diceritakan. Begitupun dengan dirimu. Aku menceritakan tentang rasa lelah karena jadwal kuliah yang tidak menentu. Bercerita tentang ibu kantin yang anaknya baru saja melahirkan. Berceloteh tentang kejadian di perpustakaan di mana aku menjatuhkan banyak sekali buku dengan tidak sengaja. Aku juga sampai pada kisah di mana aku memiliki dorongan yang kuat sekali untuk membaginya denganmu. Tentang kedua orang tuaku. Papa yang menikah lagi. Mama yang kabur entah ke mana. Aku yang terbiasa melakukan segalanya sendirian dan tak memiliki keinginan apapun atas hidup ini. Aku kuliah di sini, karena aku hidup. Setelahnya, aku akan bekerja karena aku masih diberi kehidupan oleh Tuhan. Aku melakukan semuanya hanya karena satu alasan. Aku hidup dan kehidupan masih bersamaku. Itu saja. Aku tidak ingin menghianati siapapun. Aku tidak ingin lari dari apapun. Tak pernah berniat bunuh diri atau menghilang merusak satu-satunya anugerah yang sudah sudi Tuhan berikan padaku. Yaitu, hidupku. Maka, aku biarkan saja semuanya seperti ini. Aku menikmati hidupku. Meski hanya untuk sekadar membuka mata lantas bernapas.
Kamu mengatakan padaku bahwa, ada hal lain dalam hidup selain daripada membuka mata lantas bernapas. Bahwa di dalam menjalaninya, aku membutuhkan keinginan-keinginan. Itulah sebabnya aku tidak memiliki cerita apapun. Kisah apapun dan bahkan seperti keluar dari rotasi kehidupanku sendiri. Semua karena aku kehilangan keinginan-keinginan di dalam hidupku. Akhirnya aku menemukan kepingan yang hilang. Lembaran yang dilupakan. Penyebab dari apa yang sudah bertahun-tahun menimpaku. Dan kamu tahu? Aku menemukannya di dalam dirimu.
Sekarang aku harus bagaimana, Rian?
Kamu memintaku untuk mulai memikirkan tentang keinginan-keinginan. Bagaimana dengan keinginan untuk memilikimu? Kamu setuju? Perempuanmu setuju?
Cideng, 30816
Euis Shakilaraya
