Selasa, 30 Agustus 2016

Abnormal

Abnormal
Oleh
Euis Shakilaraya


Ketidaknormalan hidup seseorang, terkadang membuat seseorang tersebut berjalan semakin melayang. Semakin tinggi dan tinggi kemudian kembali tersadar bahwa dirinya sudah terlalu jauh dan sulit untuk kembali menapaki kehidupan yang normal. Sama halnya diriku. Entah mengapa, membaur bersama yang lain kemudian mendengarkan yang lain menceritakan tentang kisah asmara, konflik keluarga, bahkan hanya sekadar berbagi penat tentang tugas-tugas perkuliahan yang menggila saja, terasa sangat aneh.

Jelas tidak ada yang salah pada mereka. Karena apa yang salah dari berbagi tentang kisah asmara? Percintaan ala anak kuliahan bahkan sampai ke perasaan-perasaan mengagumi kakak tingkat tanpa berani mengungkapkan. Tidak ada yang salah. Apa pula yang dapat disalahkan dari berbagi pedih tentang masalah-masalah yang terjadi di dalam keluarga. Papa dan mama bertengkar. Adik bandel. Papa senang marah-marah. Mama galak. Sungguh tak mengganggu sedikit pun. Karena pada teman, apapun akan tumpah ruah memaksa siapapun untuk mengungkapkan apa saja yang dirasakan. Dan bahkan aku tidak menemukan kesalahan sedikit pun pada celoteh mereka yang kelelahan karena tugas makalah menumpuk. Penelitian menanti. Jadwal presentasi membuat frustasi.

Yang salah, ada pada diriku. Di dalam diri ini.

Aku tidak dapat bercerita apapun. Aku tidak pernah tahu apa yang harus aku ceritakan. Aku merasa hidupku teramat normal tanpa ada yang serius di dalamnya. Meski justeru hal tersebut membuat orang lain berpikir ada yang tidak beres di dalam diriku. Ya memang ada yang tidak beres. Tapi bahkan diriku, tidak tahu di bagian mana kepingan yang hilang dalam hidup yang aku jalani. Pada halaman ke berapa lembaran kehidupanku mulai kehilangan ceritanya. Kisahnya. Dan rotasinya. Aku benar-benar merasa semuanya baikbaik saja. Aku cukup mendengarkan mereka. Meski bosan. Berusaha tersenyum dan menimpali sesekali. Selebihnya, aku menjalani semuanya dengan tanpa keinginan apapun. Tanpa ambisi atas apapun. Karena bagiku, hidup hanya tentang membuka mata lantas bernapas. Beraktifitas sesuai rutinitas yang ada.

Aku cukup bangun pagi-pagi sekali. Merapikan kamar kost. Belajar. Lantas siap-siap untuk pergi ke kampus. Kuliah. Duduk bersama teman usai berdiskusi. Kemudian pulang ke kost. Belajar. Beristirahat. Aku bahkan tidak memiliki teman yang dekat. Isi ponselku pun itu-itu saja. Aku juga tidak aktif di sosial media. Teman kampus tidak ada yang melanjutkan inisiatifnya untuk dekat denganku karena aku sendiri entah mengapa membangun tembok yang sangat tinggi di ruang pertemanan antara aku dan mereka.

Tidak ada yang menarik. Sungguh. Begitu saja.

Hingga akhirnya, takdir membawaku untuk bertemu denganmu. Tidak ada yang istimewa. Hanya pertemuan singkat yang justeru sulit untuk diingat meski sekadar mengingat warna sepatuku saat itu. Kamu berjalan. Menanyakan keberadaan salah satu dosen yang mengajar di fakultasku, lantas kamu tidak sengaja melihat lembaran gambar tanganku yang berisi gambar sebuah mata dengan linangan air mata.

"Gambar sendiri?" Tanyamu terlihat sangat antusias.
"Iya."
"Ini serius. Itu keren banget."
Aku tersenyum saat itu. Dan mengucapkan terimakasih.
"Nama kamu siapa?"
"Linggar."
"Oke, Linggar. Saya Rian."
Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Seperti biasa, aku memiliki tembok yang menjulang tinggi dalam ruang pertemanan. Apalagi pada orang yang baru saja bertemu seperti pada saat itu. Aku melihat kamu hanya mengangguk kemudian memberikan isyarat untuk pamit lebih dulu.

Aku mengira pertemuan denganmu hanya akan terjadi satu kali. Aku bahkan tidak menyangka bahwa keesokan harinya, kamu akan menyempatkan diri untuk duduk di sampingku. Kamu menarik lembaran gambarku dengan paksa.

"Sesekali pengen liat kamu gambar."
"Kenapa? Yang bisa gambar kan bukan cuma aku," ucapku sedikit malas menanggapi kata-katanya. Tidak ada yang istimewa pada gambarku. Aku kembali menarik lembaran kertas gambarku kemudian memilih bergegas untuk pergi. Kamu diam saja. Aku tidak peduli kamu akan tersinggung atau merasakan hal yang buruk terhadapku. Aku bahkan tidak menengok sama sekali.

Kemudian seterusnya, diganggu olehmu, menjadi salah satu rutinitasku. Kamu tidak berhenti untuk memaksaku menggambar sesuatu di depanmu. Hingga akhirnya aku lelah menghindar. Dan menyuruhmu sedikit mundur kemudian diam tidak boleh bersuara sedikitpun. Kamu menurut saja. Aku sempat ingin tertawa melihat sikapmu.

Pada saat itu, keadaan berubah. Aku merasakan sebuah de javu. Rasanya bukan seperti aku yang sedang berusaha menggambar sesuatu di depanmu. Melainkan kamu yang ada di hadapanku. Tersenyum lebar dengan tatapan mata yang jernih saratkan banyak sekali kebahagiaan. Tanganku sedikit gemetar. Dadaku tiba-tiba saja berdebar. Dan pensil di tanganku, bergerak dengan lugas menggambar keindahan yang tidak terlihat sebelumnya. Aku tidak ingat sudah menghabiskan berapa puluh menit untuk menggambar. Namun setelah menyeka sedikit keringat di dahi, dan membenarkan rambut sebahuku yang tertiup angin, gambarnya selesai. Aku terperangah sendiri melihat sketsa wajahmu di tanganku. Kamu sedang tersenyum. Aku langsung mendekap lembaran kertasnya dengan erat. Buru-buru merapikan buku dan alat gambarku. Memasukkannya ke dalam tas.

"Ada apa? Kok langsung pada dimasukin ke tas? Saya kan belum liat hasilnya," ucapmu protes dan melangkah maju mendekatiku. Aku berusaha tenang.
"Ya aneh aja. Masa gambar sketsa wajah kamu."
"Serius? Saya mau lihat!"
"Nggak mau."
"Linggar, lihat sini!"
"Lihatnya setelah aku jauh ya? Nih."
Aku kembali merogoh tasku untuk mengambil lipatan kertasku yang berisi sketsa wajahmu. Aku buru-buru melangkah menjauh. Rasanya malu sekali. Kenapa harus sketsa wajahmu? Padahal banyak sekali objek yang dapat aku gambar.

Sejak saat itu, kamu mulai menjadi salah satu rutinitasku. Aku merasakan kakiku mulai berpijak pada hal-hal yang normal. Bersamamu, aku memiliki banyak sekali kisah untuk diceritakan. Begitupun dengan dirimu. Aku menceritakan tentang rasa lelah karena jadwal kuliah yang tidak menentu. Bercerita tentang ibu kantin yang anaknya baru saja melahirkan. Berceloteh tentang kejadian di perpustakaan di mana aku menjatuhkan banyak sekali buku dengan tidak sengaja. Aku juga sampai pada kisah di mana aku memiliki dorongan yang kuat sekali untuk membaginya denganmu. Tentang kedua orang tuaku. Papa yang menikah lagi. Mama yang kabur entah ke mana. Aku yang terbiasa melakukan segalanya sendirian dan tak memiliki keinginan apapun atas hidup ini. Aku kuliah di sini, karena aku hidup. Setelahnya, aku akan bekerja karena aku masih diberi kehidupan oleh Tuhan. Aku melakukan semuanya hanya karena satu alasan. Aku hidup dan kehidupan masih bersamaku. Itu saja. Aku tidak ingin menghianati siapapun. Aku tidak ingin lari dari apapun. Tak pernah berniat bunuh diri atau menghilang merusak satu-satunya anugerah yang sudah sudi Tuhan berikan padaku. Yaitu, hidupku. Maka, aku biarkan saja semuanya seperti ini. Aku menikmati hidupku. Meski hanya untuk sekadar membuka mata lantas bernapas.

Kamu mengatakan padaku bahwa, ada hal lain dalam hidup selain daripada membuka mata lantas bernapas. Bahwa di dalam menjalaninya, aku membutuhkan keinginan-keinginan. Itulah sebabnya aku tidak memiliki cerita apapun. Kisah apapun dan bahkan seperti keluar dari rotasi kehidupanku sendiri. Semua karena aku kehilangan keinginan-keinginan di dalam hidupku. Akhirnya aku menemukan kepingan yang hilang. Lembaran yang dilupakan. Penyebab dari apa yang sudah bertahun-tahun menimpaku. Dan kamu tahu? Aku menemukannya di dalam dirimu.

Sekarang aku harus bagaimana, Rian?

Kamu memintaku untuk mulai memikirkan tentang keinginan-keinginan. Bagaimana dengan keinginan untuk memilikimu? Kamu setuju? Perempuanmu setuju?




Cideng, 30816
Euis Shakilaraya

Rabu, 17 Agustus 2016

PENGALAMAN BERLANGGANAN INDIHOME 100% FIBER

Malam ini pengen berbagi pengalaman tentang pengalaman berlangganan Indihome dari Telkom. Hehe
Semacam pengalaman yang Indonesia banget kali ya. :-p #alibi
Sebenarnya, udah lama pengen nulis soal ini menanggapi beberapa ulasan negatif tentang berlangganan Indihome.

Untuk yang belum tahu,
Indihome 100% Fiber
Triple Play :
- Internet up to 100mbps
- TV kabel 89 Channel
- Telepon 1000 menit
Dalam satu paket.

Ada beberapa paket pilihan yang tersedia. Kalau saya, pakai yang unlimited. Ketika pasang, memang sedang ada promo diskon 50 persen sampai bulan Desember. Benarbenar membantu untuk saya yang memang kesehariannya cuma makan, tidur, youtube-an, dan jualan onlen. Jualan tas lipat gitu, Sist. #mendadakpengenpromo :-D
Oke, lanjut ke Indihome.

Saya pernah baca mengenai sisi negatif tentang pemasangan Indihome di mana katanya, tagihan perbulannya tidak menentu. Berubah-ubah dan merasa dirugikan. Sebelum saya pasang di rumah saya yang di Cirebon, di rumah yang di Bandung kebetulan sudah pasang. Dan saat ada ulasan tentang tagihan yang tidak stabil itu, saya jadi meng-oh-kan dan meng-iya-kan tanpa tahu asal muasal pemasangan Indihome yang di Bandung. Saya cuma betugas beberapa kali membayarkan tagihannya ke Telkom. Dan ya... Memang mahal. Sekitar 395.000,-.

Hingga akhirnya, saya merasa sudah kewalahan dengan paket internet reguler dari beberapa provider. Kuota terbatas dan rawan gangguan jaringan. Jualan onlinenya jadi terganggu. Dan tebak apa? Setelah saya rembugan dengan ketua RT, RW, remaja masjid dan ketua Karang Taruna di sekitar rumah saya, saya memutuskan untuk berlangganan Indihome. Fixed. Harus berlangganan. Dengan semangat membara, saya menghubungi teman saya yang terbiasa promo Indihome di BC bbm.

Awalnya, memang takut. Sama halnya ketakutan banyak orang soal tagihan perbulannya yang tidak stabil. Tapi setelah mendengarkan penjelasan dengan smart, ketakutan saya hilang. Sebagai pelanggan, kita juga harusnya smart. Tidak menyerahkan seluruh hidup kita kepada marketing mereka. Kita berhak untuk bertanya sedetail-detailnya. Menurut pengalaman saya hampir 4 bulan terakhir ini, cicilannya stabil. Sesuai yang dirincikan dan dijelaskan sejak awal. Atau mungkin jika ada yang benarbenar tidak stabil tagihannya, kita berhak menanyakan. Lagipula, setiap pembayaran, di kwitansinya ada rincian jelasnya. Kalau memang ada yang tidak dipahami dan tidak masuk akal dalam rinciannya, boleh kok protes. :-)

Maka dari itu, apabila dikatakan tagihan perbulannya sekitar 200-an, agar tidak kaget, sebaiknya langsung tanyakan, 200-an itu termasuk sewa modem dan lainlainnya tidak. Ada biaya administrasi lainnya tidak. Ada tambahan lainnya tidak. Agar kita mendapatkan nominal yang mendekati nominal pastinya.

Seru pake unlimited. Bisa youtube-an sepuasnya. Main Instagram sampe nge-stalk seluruh artis tanah air tanpa takut kehabisan kuota. Browsing semaunya. Download sampe tepar. Tanpa gangguan. Bisa nonton tv kabel dengan 89 channel. Sampe mabok milihnya. Banyak channel favorit juga di sana. Aaaaargh. Tidak rugi sama sekali pokoknya. Keren.

Saran saya, tidak perlu takut untuk berlangganan Indihome. Asal seperti yang saya bilang, harus smart. Harus menanyakan semuanya di awal. Jangan sampe karena kelalaian kita sendiri, tagihannya mahal. Kemudian malah menyalahkan pihak penyedia jasa. :-p

Untuk yang belum berlangganan, mending buruan deh ke Telkom terdekat. Oya, denger-denger sih dua hari ini, untuk daerah Cirebon, sedang ada promo diskon 50 persen sampai bulan Desember untuk paket yang unlimited. Buruan buruaaaaan. Cuma dua hari ini lho, Gaes. :-*

Cukup dulu kali ya.
Kwitansi pembayarannya bakal saya foto dan posting di sini. Tapi mungkin besok kali ya. Dicari dulu.
Kalau ada yang mau ditanyakan. Boleh komen koook. Pasti saya balas. Bye bye ~

Kamis, 04 Agustus 2016

Senja dan Kamu

Senja mulai turun saat kau menyapa sepiku dengan lembut. Kau bertanya, apakah aku ingin menemuimu atau tidak. Senyumku mengembang. Pertanyaanmu membuat hatiku menghangat. Bagaimana bisa kau bertanya apakah aku ingin menemuimu atau tidak sedangkan dalam setiap detik yang terhempas dalam hitungan waktuku, aku hanya memikirkan dirimu. Pun merindukanmu.

Senja tenggelam dalam luasnya malam. Memancarkan dirinya menjadi penerang bagi rembulan. Cahayanya menerangi wajahku. Angin yang berembus kencang, menerjang tubuhku. Mempermainkan rambut sebahuku. Aku terus berjalan menuju tempat yang kau bisikkan. Tempat di mana kau akan menjumput asaku agar beradu dengan matamu. Aku bersumpah akan memelukmu dengan sangat erat jika aku sudah melihat senyummu merekah di hadapanku.

Kau datang dengan senyum seindah purnama. Kemudian mengulurkan pakaian hangat "Pakailah!" Ucapmu. Aku hanya mampu melayang setinggi khayal menerima kebaikanmu. Tak perlu menunggu lama untuk menahanku agar tak segera memelukmu. Karena tak sampai lima menit, kau sudah ada di dalam dekapanku. Kau menggenggam jemariku dengan lembut.

"Dingin," katamu.

"Memang," ucapku.

Kau tersenyum.

"Biasanya hangat."

Hening.

Tak kuasa menjelma ramai untukmu, aku hanya mampu menjadi hening yang membungkus kerinduan antara aku dan kau.