Kamis, 06 Desember 2018

SAKIT

Sebuah cerpen oleh,
Euis Shakilaraya




Aku memandangi laptop yang masih menyala sejak dua jam yang lalu. Tak ada satu kata pun yang dapat aku tulis. Rasanya seperti pikiranku berhenti pada satu titik yang bahkan aku tak mampu menggambarkannya. Aku menoleh ke arah jam dinding yang tepat menunjukkan pukul 3 dini hari. Bagaimana aku dapat menyambut hari esok dengan senyum secerah matahari. Sedangkan bekal untuk menghadapinya, belum selesai sama sekali. Aku merebahkan tubuhku dan membiarkan penat yang sedari pagi menggangguku sedikit mengurai.

"Saya sayang sama kamu. Tapi sebaiknya kita nggak perlu punya hubungan lebih dari sekedar temen, Ra." Seperti itu kirakira perkataan Gio padaku saat kami sedang sarapan bersama di kantin kantor. Saat itu aku tak dapat mengangguk atau menggeleng. Perkataannya membuatku kaget dan hanya satu hal yang membuatku berteriak kencang dalam hati,

"Gue diputusin? Tapi kenapa?"

Sayangnya, pertanyaan itu tertahan di tenggorokan. Aku bahkan tak mampu menyelesaikan sarapanku. Satusatunya hal yang dapat aku selesaikan dengan cepat adalah pekerjaanku. Karena seharian penuh yang aku pikirkan hanyalah bagaimana caranya aku segera enyah dari hadapan Gio. Aku bangkit dan kembali menatap laptopku.

"Ah, sial. Ga bisa nulis sama sekali."

Aku menyerah dan mematikan laptop. Aku menggulung tubuhku dengan selimut tebal yang biasanya sangat nyaman. Tapi tidak untuk malam ini. Aku pikir, aku sudah terbiasa dengan siklusnya. Didatangi lantas ditinggalkan. Dicintai lantas dicampakkan. Aku hampir selalu baikbaik saja. Tapi kenyataan bahwa hal itu masih mengganggu, membuatku menggigil hebat. Mengapa Gio memilih untuk pergi sedangkan tidak ada masalah yang terjadi. Semuanya baikbaik saja. Apa memang sedang ngetrend meninggalkan seseorang saat tak ada masalah apapun? Aku semakin menenggelamkan tubuhku ke dalam selimut. Satu dua tetes airmata mulai membuat ujung bantalku basah. Dengan tak tahu malu, aku meraih handphoneku dan mengirimkan sebuah chat melalui aplikasi Line ke Gio.

"Gi... sudah bosan sama aku?"

Tak lama kemudian, tanda R menunjukkan bahwa chatku telah dia baca. Dia belum tidur ternyata.

"Iya, Ra."
"Sudah nggak bisa samasama lagi?"
"Maap ya, Ra."
"Tapi aku sayang sama kamu."
"Saya juga."
"Tapi kenapa? Kalau sekedar bosan, kamu boleh menjeda beberapa waktu. Ga perlu hubungi aku. Banyak cara Gi."
"Saya hanya sudah nggak bisa aja, Ra."
"Iya, tapi aku perlu tahu alasannya."
"Sederhana, sudah tidak bisa."

Dadaku terasa penuh dan mataku memanas. Bagaimana bisa seseorang yang sudah bersama denganku hingga dua tahun, begitu tega mengucapkan kalau dia sudah tidak bisa menjalani hubungan lagi denganku.

"Sudah ada yang lain Gi?"
"Jangan ngaco! Baru pagi tadi. Mana mungkin saya sudah nemu yang lain."
"Dari kemarinkemarin mungkin?"
"Saya nggak seburuk itu, Ra."
"Ya lalu apa? Kasih aku alasan paling masuk akal biar aku bisa menerima."
"Ya sederhana, saya sudah nggak bisa."

Aku menangis hebat. Mengapa rasanya begitu sakit? Padahal aku tak pernah menjalani sepenuh hati. Tak pernah menyerahkan hidupku padanya. Bahkan aku tak pernah bergantung padanya. Tapi mengapa sesakit ini saat dia memilih pergi? Harusnya aku tetap seperti biasa. Seperti sebelum dia masuk ke kehidupanku. Tapi tidak bisa. Tubuh, pikiran dan hatiku tak dapat menerima semua yang terjadi. Aku menangis sejadijadinya. Hanya berharap kalau besok semuanya akan baikbaik saja.

***

Shit!
Kesiangan.

"Ma, aku langsung yak." Aku sibuk menyiapkan laptop dan merapikan rok, rambut serta bajuku. Ah ya, sepatuku.
"Pelanpelan aja Ra. Masih jam enam."
"Aku ada presentasi, Ma. Mana bahannya belum aku tulis. Bagaimana doooong?"

Aku panik sembari memakai flat shoes warna hitamku. Setelahnya, aku langsung berlari.

"Nggak bawa mobil?" Teriak mama.
"Ojek aja Ma!"
"Yaampun dari Depok ke Jakarta naik ojek?!"
"Yaampun ya Ojek ke stasiun lalu lanjut KRL lah maaaaa. Assalamualaikum."

Aku sudah di luar rumah dan tak lagi mendengar teriakan mama. Yang benar saja. Sebesar apapun gajiku, aku tidak sanggup membayar ojek perjalanan dari rumah ke kantor. Sudah hilang akalku kalau itu sampai terjadi.

***

"Gi..."
Aku menyapa Gio. Gio tersenyum dan menoleh ke padaku.

"Eh, Ra."

Eh, Ra?

"Makan siang?"
"Iya. Kamu?"
"Nggak deh. Kamu mau aku temenin?" Tanyaku. Gio tersenyum.
"Saya sendiri aja, Ra."

Saya sendiri aja, Ra?!

Aku terpaksa mengangguk. Hatiku kembali terasa sakit. Aku mengikat rambutku sembarang dan menenggelamkan wajahku di meja. Hari ini kacau sekali.

"Sarah!"

Seperti ada yang memanggil nama lengkapku. Aku menoleh dengan berat.

"Hmm?"
"Sumpah lu kacau banget hari ini." Eveline. Satu tim. Tapi seperti musuh. Dia tidak menyukai kesempurnaanku dalam bekerja.

"Terimakasih, Eveline." Hanya itu yang mampu keluar dari mulutku.
"Ada yang lebih kacau nggak dari presentasi di depan klien, tanpa memiliki bahan presentasi sama sekali?"
"Terimakasih tim hebatqu. Karena sudah membuat materi cadangan." Lagi, aku merespon datar dan kembali menenggelamkan wajahku ke atas meja.

Eveline tertawa. Tertawa puas.

"Emang lu ABG?" Tanya Eveline. Aku menoleh malas.
"Hah?"
"Ya emang lu ABG yang kalau diputusin langsung galau begitu?"
"Siapa yang bilang gue diputusin?"
"Seluruh kantor juga tau, Ra."

Wajahku memerah.

"Jadi seluruh kantor udah tahu padahal guenya nggak tahu?"
"Lu nggak tahu atau menolak tahu?"

Aku menatap Gio tajam dari kejauhan. Bagaimana mungkin rumornya menyebar begitu cepat seperti kilatan cahaya. Padahal aku belum menerima keputusan sepihak Gio.
"Belajar lebih peka, Ra. Kayaknya apapun yang terjadi di dunia ini, cuma lu doang yang seminggu kemudian baru tahu. Coba gue tanya, lu tahu nggak siapa pacarnya Lucinta Luna?"
"Ya mana gue tahu, Eve."
"Tuh kan. See? Cuma lu doang yang nggak tahu." Eveline menahan tawa dan meninggalkanku sendirian.

Lebih peka?

Aku mengacak rambutku kesal kemudian bangkit dan menghampiri Dian. Kami satu tim di beberapa project iklan yang dimenangkan perusahaan. Tidak terlalu dekat untuk menceritakan masalah pribadi. Tapi cukup dekat untuk saling menyapa dan menanyakan sesuatu.

"Di, gue mau nanya."
"Apa?"
"Lu tahu pacarnya Lucinta Luna?"
"Ya mana gue tau, Ra. Nggak penting banget lu."

EVELINE!

***

"Aku diputusin sama Gio, Ma."
"Mama lebih kaget kalau kamu bilang Gio mau nikahin kamu."
Aku memberengut.
"Aku tuh nggak sedih banget. Tapi cuma nggak terima aja, Ma. Diputusin sepihak. Padahal nggak pernah ada masalah."
"Udah tanya ke dia?"
"Sudaaaaah. Dia cuma bilang, saya udah nggak bisa, Ra. Tahu ah!"

Mama tampak sedang berpikir. Tangannya terampil memotong wortel dan buncis. Aku membantu mama menghabiskan wortelnya saja. Tidak bermaksud membantu sama sekali.

"Sebenernya memang aneh juga Gio bertahan 2 tahun sama kamu."
"MA!"
"Udah sana mandi. Terus sarapan. Anter mamah kondangan."
"Ya Allah ngajak kondangan mulu tiap weekend. Kapan ngajak liburannya?"

Mama mendorongku pelan. Aku segera berjalan menuju kamarku.

Lebih peka?
Bagaimana, sih?
Semacam harus menanyakan setiap waktu apakah dia sudah makan atau belum?
Keadaannya atau apa?

***

"Morning, Team..." Aku menyapa seluruh anggota timku dengan sangat ceria. Eveline, Dian, Arga, Feni, Jessi, dan Feri. Mereka menatapku heran.

"Jangan bilang kalau lu nggak bawa materi sama sekali hari ini. Jangan sampe gue julukin ketua tim nggak bertanggung jawab."

Eveline. Seperti biasa. Menyerangku secara brutal. Hari ini akan aku biarkan karena aku tak ingin merusak pagi yang indah milikku.

"Nggak. Gue cuma ada sedikit info buat lu, Eve."
"Apaan?"
"Lu dan gue dapet tugas kantor ke Surabaya," ucapku.
"Jauh amat. Mau ngapain?"
"Big boss ada urusan di sana. Ngajakin semua ketua tim untuk ikut."
"Ya terus hubungannya sama gue apaan? Kan lu ketua timnya."
"Ya justeru karena gue ketua tim. Jadi gue memutuskan secara otoriter untuk menyiksa sekaligus memaksa lu untuk ikut bareng gue ke Surabaya." Aku tertawa puas. Diiringi helaan napas dari semuanya. Semua anggota tim.

"Ra, bisa ngobrol dulu sebentar?"

Tiba-tiba Gio sudah ada di belakangku. Aku tersenyum.

"Bisa, Gi. Kenapa?"
"Ikut saya sebentar."

Aku mengikuti langkah Gio. Dia mengajakku bicara di lorong panjang menuju lift. Sepi, memang. Tapi ada apa?

"Kenapa, Gi?"
"Saya nggak bisa kayak gini."
"Maksud kamu?"
"Saya sayang sama kamu," ucapnya. Riak wajahnya terlalu serius. Tidak seperti Gio yang biasanya. Dadaku rasanya sesak sekaligus degubnya tak beraturan. Mataku serasa memanas karena betapa Gio kembali mengingatkanku bahwa aku masih sangat meyayanginya namun tak berdaya. Dia menginginkan mengakhiri segalanya.

"Aku juga. Tapi... maksudnya bagaimana, Gi?"
"Saya sayang sama kamu. Susah payah untuk berhenti berharap sama kamu. Tapi saya lihat kamu bisa senyum secerah biasanya tanpa terlihat bersedih sama sekali karena hubungan kita selesai."

Aku tertegun.
Dia tidak tahu apaapa. Dia tidak tahu bagaimana sesaknya.

"Tapi aku memang baikbaik aja, Gi."
"Saya nggak baikbaik aja."
"Ya terus kenapa kamu minta putus?"

Gio menghela napas berat. Sangat berat. Hingga aku ikut merasakan bagaimana perasaannya. Begitu tersiksanya kah? Tapi aku sungguh tak mengerti sebenarnya apa masalahnya?

"Saya meeting dulu. Nanti malam pulang pake mobil saya."

Dia berlalu. Aku masih mematung.

Apa besok aku ulang tahun?
Ini semacam dikerjain alaala anak SMA bukan, sih?
Dia kenapa?

***

Gio menepikan mobilnya.
"Saya cuma nggak tahu mau ngajak kamu ke mana untuk ngobrolin hal ini."
"It's okey, Gi."

Aku mengubah posisi dudukku. Tak lagi menghadap ke jalan, melainkan menghadap ke arahnya. Mencari posisi yang nyaman dan tersenyum.

"Ada sesuatu yang perlu aku tahu?" Tanyaku.
"Saya cuma ngerasa kalau hati kamu nggak pernah sungguhsungguh sayang ke saya."

Aku menatapnya heran.

"Alasannya?"
"Kamu nggak pernah benarbenar membutuhkan saya."
"Tunggu... nggak usah mutermuter, Gi. Intinya, ada apa?"
"Saya ngerasa sudah waktunya untuk memperjelas hubungan kita. Saya memikirkan bagaimana cara melamar kamu. Tapi kamu, pernah nggak sekali aja mikirin saya?"

"..."

"Kamu bisa pulang pergi kantor sendiri. Cari makan siang sendiri. Ngurusin ban mobil bocor sendiri. Mesin mogok. Pekerjaan. Apapun kamu lakukan sendirian. Kamu bahkan nggak tahu kan siapa nama lengkap Dian? Kamu juga nggak tahu berapa usia Feri. Kamu bahkan setelah 6 bulan baru tahu kalau saya anak ke dua. Kamu nggak pernah ingin tahu soal keluarga saya. Kamu nggak tahu tepatnya apa pekerjaan kedua orang tua saya. Dua tahun, Ra. Kamu cuma tahu halhal yang kamu lihat aja. Selebihnya, kamu nggak pernah berniat ingin tahu."

Aku tak tahu harus berkata apa. Aku pun tak tahu harus bagaimana untuk menenangkan Gio. Yang jelas, mataku basah. Ada yang menusuknusuk di sana. Perih. Ingatanku seolah kembali dilemparkan ke masamasa di mana aku adalah sosok orang yang paling peduli dengan sekitar. Dan tak membuahkan apapun. Aku begitu tersiksa karena terlalu banyak tahu. Lalu apa salahnya bersikap sedingin ini, demi menjaga stabilitas hidupku sendiri yang bahkan jika hancur. Tak ada satupun yang peduli.

"Gi..." suaraku bergetar.
"Saya menyukai semua hal tentang kamu. Terlepas segimana nggak pekanya kamu ke lingkungan sekitar. Tapi kamu baik. Selama ini saya merasa itu saja cukup. Saya pikir dengan berjalannya waktu, saya akan mendapatkan hati kamu. Perhatian kamu. Tapi saya salah. Saya nggak bisa, Ra."

"Lalu sebenarnya, masalahnya apa?" Aku hampir terisak. Namun, tertahan. Luapannya seperti akan tumpah. Dan bahkan, aku tak pernah ingin sekalipun menunjukkan kepada siapapun bahwa aku kehilangan kendali. Aku menahan perasaanku.

"Masalahnya, saya sangat menginginkan kamu. Tapi saya tahu mustahil meminta kamu untuk berubah. Saya kesiksa, Ra."

Aku meraih tangan Gio. Menggenggamnya erat. Aku benarbenar tak nyaman melihatnya begitu gelisah dan terlihat tersiksa. Entah antara sedih atau marah. Yang jelas, dia sedang meluapkan seluruh isi hatinya.

"Everything is gonna be okey, Gi."
"Nggak. Tanpa kamu." Gio menarik tangannya dan memukul stir pelan.

"Aku sayang sama kamu, Gi. Tapi kalau cara aku menyayangi kamu tidak sesuai dengan yang kamu harapkan, aku bisa apa? Aku sangat sayang sama kamu sampai rasanya aku nggak pernah mau merenggut waktuwaktu berharga kamu hanya untuk sekedar mengantar aku pulang kerja, misalnya. Oke, aku memang kadang tidak tertarik dengan kehidupan orang lain selain yang terlihat oleh aku atau yang menarik perhatianku. Tapi apa itu masalah? It's me, Gi. Kalau hal itu tidak buruk, kenapa harus menjadi masalah?"

Susah payah, aku tidak ingin terisak. Meski air mataku sudah begitu derasnya luruh. Wajah Gio melunak. Aku menegakkan bahuku. Dan menenangkan hatiku.

Bukan Gio orangnya.
Bukan dia.

Nantinya, akan ada seseorang yang tak akan pernah memiliki alasan untuk meninggalkan meskipun ia mampu membuat seribu alasan.

***

"Ma, menjadi sekuat dan semandiri aku, apa buruk?"
"Ada apa?"

Aku memeluk mama erat. Mengistirahatkan lelahku di bahunya. Mataku kembali basah.

"Aku hanyak nggak mau kembali patah hati seperti saat papah ninggalin kita. Aku nggak mau kembali patah hati seperti saat Arkan membatalkan pernikahan aku dan dia. Aku belajar. Untuk tidak perlu terlalu peduli dengan kehidupan orang lain. Aku tidak perlu bergantung kepada siapapun. Aku hanya perlu hidup dengan baik."

Mama menepuknepuk bahuku.

"It's okey, Sarah. Semua akan baikbaik saja. Tidak apaapa."

Aku memeluknya semakin erat. Dan menumpahkan segalanya. Aku harus baikbaik saja. Seperti biasanya.
Iya, seperti biasanya.

Minggu, 26 Agustus 2018

KENAPA NGGAK NGAJAR AJA?

KENAPA NGGAK NGAJAR AJA?


Kenapa nggak ngajar aja?
Pertanyaan kayak gitu sering banget gue denger. Karena ya memang basic pendidikan gue adalah guru tapi gue selalu kerja yang nggak sesuai dengan bidang gue. Tapi pertanyaan gue selanjutnya untuk yang nanya, ya... siapa yang nggak mau? Siapa yang nggak mau kerja sesuai dengan basic pendidikan serta passion yang kita miliki? Mau banget. Tapi mungkin perspektif kita yang berbeda. Bagi gue, ngajar adalah kehidupan. Berbagi ilmu memiliki keseruan tersendiri. Dari gue pertama kali dapet pertanyaan apa citacita gue, gue jawab guru. Pas SMA sampe kuliah dapet amanat untuk ngajar adikadik di pesantren, ya gue menikmati masamasa itu. Masamasa belajar lagi untuk kemudian bisa ngajar. Masamasa gue pelajari lagi materimateri yang akan gue ajarkan. Dan bagi gue, ngajar bukan hanya bisa dilakukan di sekolah formal aja. Gue bisa ngajar di manapun. Dan hal itu, bikin gue bahagia.

Salah satu sahabat gue sebut aja Nimas Aksan, memang nama sebenarnya. Dia pernah bilang kalau gue keliatan "bersinar" pas ngajar. Gue tau dia lebay karena gue bukan lampu LED yang bisa bersinar. Tapi gue paham maksud katakata dia. Mungkin maksud dia, lebih hidup. Lebih bahagia. Karena katakata itu dia lemparkan setelah gue bertauntaun off ngajar. Jadi sebenarnya, siapa yang nggak mau?

Gue mau.

Gue juga seneng liat tementemen gue baik temen semasa kuliah atupun temen yang jadi rekan gue saat ngajar. Kebanyakan dari mereka menjadi guru. Guruguru hebat. Lagi, di sini... perspektif kita saja yang berbeda. Bagi gue, andai bisa... gue nggak mau menjadikan "mengajar" sebagai pekerjaan gue. Pekerjaan yang artinya gue dapet uang dari hasil gue ngajar. Gue seharusnya melakukan pekerjaan lain agar bisa mengajar. Walopun nggak memungkiri kalau gue ya masih dibayar untuk tenaga gue mengajar. Baik ngajar di sekolah ataupun privat. Dan itupun nggak salah. Uang itu hanya sekadar penghargaan untuk para guru yang mau membagi ilmunya. Mendidik anakanak untuk tumbuh menjadi manusia yang memiliki ilmu yang kemudian dapat mereka gunakan.

Intinya adalah, gue bahagia saat gue ngajar. Di mana yang gue lakuin ya... ngajar. Membagi ilmu gue untuk yang sangat membutuhkan uluran tangan. Membantu mereka yang kesusahan dalam mendapatkan ilmu pengetahuan. Tanpa mesti memikirkan juga halhal administratif yang seringkali bikin gue kehilangan fokus. Gue pernah ngajar di sekolah formal sekaligus membuka pintu rumah gue lebarlebar bagi siapapun yang mau datang untuk sekadar membaca. Belajar. Atau mengerjakan PR. Dan rasanya, beda banget. Ketika gue lebih banyak mengeluarkan tenaga untuk mengurus halhal administratif di sekolah formal dan kehilangan banyak tenaga yang harusnya bisa gue gunain buat fun bareng anakanak didik gue, di rumah justeru gue melupakan semua halhal rumit dan lebih fokus membantu mereka belajar.

Samasama mengajar. Kita hanya beda perspektif.

Oleh karena itu,
Gue selalu bilang sama sahabat gue yang lain, sebut aja Dyani, bukan nama samaran. Kalau gue harus kaya raya. Gue harus bekerja lebih keras dan sangat keras. Agar gue bisa terus mengajar tanpa khawatir akan kesulitan secara finansial.
Karena katanya,
Kita harus kuat terlebih dahulu agar dapat membantu orang lain. Dan kita harus bahagia agar dapat membahagiakan orang lain. ♡♡♡

Insya Allah,
Kelak gue bisa membuka pintu rumah lebih lebar untuk anakanak yang masih kesusahan dalam mendapatkan ilmu pengetahuan.

Jadi?
Siapa yang nggak mau?

Jumat, 10 Agustus 2018

TANDER-TANDER

TANDER-TANDER
Oleh Euis Shakilaraya

Aku menyilangkan kedua tangan dan menatap perempuan di hadapanku dengan tatapan sedatar-datarnya. Rasanya aneh melihat tangan kakunya mencoba memainkan gasing. Dan gayanya? Sumpah demi apapun, seperti melihat dia sedang menjadi instruktur gasing di kejuaraan nasional. Dia melemparkan gasingnya dan tidak berputar sama sekali. Benarbenar melempar seolah melihat papan gasingnya sebagai maling yang berusaha kabur, dia melemparnya asal. Tiba-tiba matanya menatapku tajam. Aku menatap ke sekeliling. Berharap yang ditatapnya bukanlah aku.

"Bantuin dong!!!" Teriaknya.

Aku sedang berada di aula besar kementrian pendidikan dan kebudayaan. Di dalamnya ada ratusan orang yang datang ke festival untuk melihat-lihat dan bernostalgia dengan permainan-permainan tradisional Indonesia. Aku kembali melihat perempuan di hadapanku dan bahkan tahu bahwa dia sedang berteriak meski aku tak dapat mendengar suaranya. Aku menunjuk diriku sendiri seolah bertanya padanya "Kamu lagi ngomong sama saya?"

"Kamu! Iyak, kamu! Bantuin dong."

Melihatnya kesulitan menjadi instruktur permainan yang tidak dia kuasai sama sekali, membuatku akhirnya memutuskan untuk membantunya. Aku menghampirinya dan mengambil alih upayanya menjadi instruktur permainan gasing. Aku dikelilingi banyak anak-anak dan orang tua mereka. Tanganku gesit melilit gasingnya dengan tali dan kemudian melemparkannya dengan sangat sempurna. Berputar sempurna di atas papan permainan. Semuanya bersorak kecuali perempuan yang berteriak meminta bantuanku. Dia tidak berteriak sama sekali, tapi matanya menatapku takjub. Dia seakan melihat permainan gasing ini sebagai permainan hidup dan mati dalam misi menyelamatkan sebuah negara.

"Kok bisa kok bisa kok bisa?" Dia akhirnya berekspresi kegirangan.
"Kereeen ih. Aku nggak pernah bisa main gasing. Ajarin ajarin ajarin."

Aku kembali menatapnya. Perempuan aneh.

"Gini caranya..."
Aku mencontohkan kepadanya. Dia menatap antusias. Kemudian aku menyerahkan gasing kepadanya.

"Nih, coba lempar."
"Gimana caranya?"
"Lempar aja pelan."

Aku melihatnya ragu-ragu melempar. Tapi dia benar-benar mengikuti instruksiku dan gasingnya berputar sebentar.

"Yeaaaaaayyyyy!!! Muter!!! Cool. Akhirnya bisa."
Ramainya aula kementrian rasanya dikalahkan oleh euforia dia dalam menikmati keberhasilannya bermain gasing.

***

Aku berada di salah satu komunitas yang berfokus pada pelestarian permainan tradisional Indonesia. Karena semakin majunya kecanggihan teknologi, membuat anak-anak penerus bangsa cenderung lebih senang memainkan gadget dan tontonan-tontonan yang mempengaruhi perkembangan pengetahuannya lewat youtube, pelestarian permainan tradisional pun dirasakan semakin penting. Selain untuk kembali mengajak anak-anak untuk bermain di luar dan mengasah sistem motoriknya, juga untuk melestarikan salah satu kebudayaan bangsa.
Keren banget ya narasinya. Intinya, begitu. Dan hari ini sedang ada festival permainan tradisional dari komunitas lain yang menjadikan komunitasku sebagai komunitas undangan. Dan perempuan aneh di area permainan gasing tadi, sudah menghilang. Dari kaos yang dia kenakan, dia terlihat seperti volunteer atau panitia acara. Entahlah.

"Mau main tander-tander nggak?"

Perempuan itu tiba-tiba ada di belakangku. Aku membalik badan dan hanya menatapnya. Dia kembali berlari ke arena permainan membawa sebilah bambu untuk memainkan tandertander. Permainan sederhana di mana yang memainkannya harus melingkar dan salah satunya harus dikenai tutup sabun colek atau tutup apapun yang dapat di taruh di atas bilah bambu para pemainnya. Permainan itu berasal dari sulawesi selatan. Tanah kelahiranku. Aku tercengang melihat mereka memainkan tandertander. Sepertinya, apapun yang dilakukan perempuan itu, semuanya salah. Dia tidak menguasai permainan apapun.

"Emang begitu cara mainnya?" Tanyaku
"Nggak tau. Asal main aja. Kenapa?"
"Ya setau saya sih nggak begitu mainnya."
"Ya kasih tau. Aku kan cuma baca di buku panduan."
Hah?
"Kalian melingkar, pegang bambu masing-masing. Taruh tutup sabunnya di atas bambu. Lempar ke atas sampe kena ke salah satu teman kalian di dalam lingkaran tadi. Kalau udah kena, yang kena jadi pelempar. Kalian harus berusaha buat ga kena lemparan tutup sabunnya. Begitu."
"Ayo main. Ayo ayo ayo."

Cahaya matanya kembali. Apa dia tidak kelelahan? Aku mengambil sebilah bambu dan mengikuti permainan. Aku melihatnya lincah mengejar ke sana ke mari. Menghindar. Menikmati permainannya. Seolah kalau menang, akan langsung dijadikan duta pelestarian permainan tradisional.
Selesai bermain, dia duduk di sampingku dan meluruskan kakinya.

"Seru ya?" Tanyanya. Aku hanya mengangguk.

"Kamu kok tau cara main tander-tander?"
"Saya asli sulawesi."
"Waaah. Pantesan."
"Tadi pas main gasing, benerbener degdegan. Ga bisa mainnya. Tapi di arena gasing ga ada instruktur satu pun. Padahal aku belajarnya permainan tandertander. Malah harus pegang gasing. Untung liat ada kamu. Kamu dari komunitas undangan kan? Makasih udah ngajarin gasing sama tandertander."
"Kamu volunteer?"
"Iyak. Keliatan banget ya?"
"Nggak sih. Saya nanya aja."

"Oya, Ajeng." Ucapnya seperti memperkenalkan diri. Aku bangkit dan berniat untuk melihat arena permainan gasing. Dia ikut bangun dari duduknya dan menyamakan langkah dengan langkahku.

"Bareng."
"Pelajarin yang bener sekarang. Biar bisa."
"Siap, Pak."

Sumpah, dia kayak mainan pake batre yang batrenya ga habis-habis.

***

Namanya Ajeng. Dia mengenakan kaos putih dan celana jins. Jilbabnya berwarna pelangi. Aku tak terlalu paham tentang selera perempuan dalam memilih jilbab. Hal yang sangat jelas adalah, aku tidak dapat menyebutkan seluruh warna yang ada pada jilbabnya. Paduan antara pink, ungu, putih dan lainlain. Sepatunya memiliki tali dan talinya tidak diikat.

"Tali sepatu kamu lepas tuh," ucapku.
"Nggak kok. Emang nggak diiket." Hah? Aneh.
"Kenapa? Ntar jatuh kalau keinjek orang."
"Nunggu ada yang ngiketin aja."
Fixed. Aneh.
"Fotoin dong." Pintanya. Aku mengambil ponselnya.
"Sini. Mau kayak gimana?"
"Terserah. Asal nggak keliatan gendut."
Makin aneh.
"Nih, bagus nggak?" Tanyaku.
"Bagus. Nggak keliatan gendut."
"Lagian siapa yang gendut? Nggak kok."

Serius, bagiku dia tidak gendut. Dasar perempuan!

"Masaaaaaaaaa?????"
Sumpah demi apapun, kenapa dia menjadi sangat histeris saat aku mengatakan dia tidak gendut? Dia tertawa sangat puas. Padahal aku tak tahu apa yang lucu. Tidak ada yang dapat aku tertawakan.

"Hyaaaa!!! Siap yak. Aku bakal masukin ke IG Story aku dan plis bilang aku ga gendut."
"Ogah."
"Pliiiiisssssssss."
"Yaudah cepet."

***

Namanya Ajeng. Aku tak terlalu senang terlibat dengan euforia orang lain. Apalagi aku tipikal orang yang sangat cuek. Tapi melihatnya sangat menikmati permainan demi permainan, membuatku senang. Sangat menyenangkan ada orang seantuasias Ajeng. Selama ini, aku tak pernah melihat perempuan setotal dia dalam melakukan semuanya. Dia bahkan menenangkan anak-anak yang gelisah ingin bermain gasing, dengan memperlambat ritmenya dalam melilit tali. Dia tidak dapat memainkan gasing, hanya saja tidak ingin mengecewakan orang lain. Dia juga teramat menikmati bermain tandertander. Menyenangkan dapat melihatnya.

"Kamu bisa main egrang?"
"Bisa."
"Wah..."
"Kenapa? Kamu mau bisa juga?"
"Nggak bisa. Udah coba." Ucapnya kecewa.
"Yaudah nanti saya ajarin."
"Males. Akunya gendut. Nanti susah ngajarinnya."
"Dapet kabar dari mana sih kalau kamu gendut?"
"Aku sendiri. Sebikini bottom juga tau aku gendut."
"Yang nyebarin gosipnya siapa? Tuan krab?"
"Bukan. Lumbalumba yang punya pemancar itu."
"Dih, garing."

Saat aku mengatakan leluconnya garing, dia malah tertawa lepas. Padahal tidak lucu.

"Lucu banget karena becandaan aku ga lucu." Dia masih terpingkal-pingkal.
Aku tersenyum melihatnya. Yaudah, lucu deh. "Iya, lucu deh buat kamu mah."

Waktu berjalan dan festivalpun berakhir. Aku mengemasi barang-barang kemudian tak lagi menemukan sosok Ajeng. Biar saja. Untuk cerita nanti nanti. Kalau pernah, ada perempuan aneh yang sangat menyukai permainan tandertander.

Kamis, 28 Juni 2018

Ketika off dari D'cost Seafood



Setelah hibernasi pasca off kerja di D'cost, akhirnya saya punya kekuatan dan waktu buat menuliskan tentang ini. Seenggaknya, saya udah ngasih pengumuman ke semua lapisan masyarakat bahwa saya kerja di sana, maka ketika off, saya mau kayak orangorang. Menuliskan kesankesan selama kerja di sana. Dalam perenungan panjang dan kenangan yang penuh numpuk di kepala meski hanya sebulan lebih sedikit, tibatiba ada satu kenangan yang sangat membekas dan bikin saya kepikiran tentang kalimat,

"Lihatlah apa yang dibicarakan, bukan siapa yang berbicara."

Hampir seluruh karyawan service crew dan beberapa chef dan karyawan lainnya, usia mereka jauh di bawah saya. Dimulai dari anakanak belasan tahun dan usia ratarata mereka ada di angka 22 atau 23. Masih benarbenar muda. Melihat mereka, membuat saya mengenang masa muda saya. Pada seusia mereka, apa saja yang sudah saya lakukan. Sampesampe saya harus bekerja "fisik" di usia setua saya sekarang. Bikin saya inget masamasa lulus SMA galau nyari kerja sampe akhirnya memutuskan kuliah dengan modal beasiswa. Nyari sambilan sanasini biar bertahan kuliah. Dan tiba saatnya merelakan banyak hal. Mengikhlaskan segala yang sudah terjadi. Menjadikannya pelajaran berharga dalam hidup. Membuat saya ingin hidup kembali setelah sekian lama merasa sudah mematikan jiwa dan nurani.

Lalu karena merasa sudah sangat tua dan jauh di atas mereka, jadi saya menyesuaikan diri saya di sana. Saya nggak mau "dituakan". Dituakan ya gengs. Bukan dianggap tua. Saya sih seneng aja kalau dianggap tua. Berarti saya beneran udah tua. #apasih 😂😂😂

Ya maksudnya, disaat saya ngobrol pas waktu luang sama Karen, misalnya. Dia masih 17 taun dan baru banget lulus SMA. Maka saya lebih banyak mendengar. Saya senang mendengar masamasa mendebarkan saat dia ceritain soal banyak hal. Sampe tibatiba, dia bilang ke saya,

"Mbak, soal jodoh tuh sama aja kayak lagi nunggu bus. Misal Mbak nunggu di pinggir jalan. Ada bus pertama lewat, terlalu penuh, Mbak nggak mau. Ah, males berdiri. Terus bus selanjutnya lewat, terlalu kosong, Mbak nggak mau. Ah, takut ah. Kosong. Terus bus selanjutnya dateng lagi, penuh lagi. Mbak terus aja biarin busnya pada lewat sampe akhirnya Mbak udah nggak ada waktu lagi, kemudian naik bus yang penuh. Berdiri. Dan nggak nyaman."

Saat itu gue nganggukngangguk aja. Bukan nyepelehin pemikiran Karen. Tapi maksudnya, begitukah sudut pandang soal jodoh untuk anak usia belasan taun?

Salah satu hal yang membuat saya mudah diterima di mana pun, adalah saya mudah beradaptasi dan cepat mengenali lingkungan. Jadi saya cepat membaur. Menyesuaikan cara kerja mereka. Dan meski beberapa kali ada kesalah pahaman, saya selalu tau harus melakukan apa. Begitulah cara bertahan. Begitulah cara saya hidup selama ini.

Di depan mereka, saya nggak pernah menunjukkan bahwa sudah terlalu menumpuk hal yang sudah saya lalui sampai akhirnya bisa ketemu mereka semua. Yang pasti bekerja sebagai mbakmbak pramusaji resto, merupakan pertama kalinya untuk saya. Selain karena memang saya keren dan calon selebgram, tentunya karena bantuan mereka semua sebagai tim, akhirnya saya bisa melalui satu bulan lebih sedikit yang melelahkan.

Saya nggak bisa menyebutkan satu persatu siapa yang paling membuat saya terkesan selama bekerja di sana, yang pasti kenangan tentang kalian akan terus hidup dan indah di sini. Di dalam hati. ♡♡♡

Untuk bagian Office, Manager Dcost CSB Mall, leader, asst. Leader. Kepala dapur, Chef, Steward, Service crew, terimakasih banyak. Terutama Manager dan Leader yang memberikan kesempatan saya untuk memilih balik ke Bekasi atau stay di Dcost. Terimakasih banyak. Saya terharu.

Untuk perempuan paruh baya kayak saya yang banyak sekali pikiran dan masalah yang harus diselesaikan, saya sebenarnya lebih baik menghabiskan waktu saya untuk kerja. Dan Dcost cocok banget buat saya. Jadi kerjaan saya cuma kerja tidur kerja tidur kerja tidur. No galaugalau club. Berangkat pagi. Kerja. Stand bye di bagian checker. Antar makanan. Ngelist makanan yang belum keluar. Bolakbalik dipanggil customer. Polesing. Banyak hal yang saya lakukan. Saya pelajari. Dan membuat saya hanya fokus ke kerjaan aja. Kadang, beberapa kali malas makan pas jam istirahat. Sampai ditanya sama salah satu karyawan, Raeda namanya.

"Mbak Euis tuh males aja. Yang nggak males ngapain?"
"Kerja."

😂
Saya nggak malas kalau urusan kerja.

Tapi lagilagi, dunia saya ya ngajar. Apapun pekerjaannya, selalu menenangkan kembali mengajar. Menatap mata anakanak. Antusiasme anakanak mempelajari sesuatu. Menyampaikan sesuatu. Saya pasrahkan semuanya ke Tuhan. Dari manapun rejeki yang harus saya terima, yang pasti menyenangkan telah berusaha semampu yang saya bisa.

Terimakasih Dcost... ♡♡♡
Atas kesempatan dan segalanya.













Regards,
@kilundoel calon selebgram.

Selasa, 12 Juni 2018

MONOLOG

MONOLOG

Oleh Riza
Sebuah cerpen kolaborasi antara katanya dan kata hati.

Hari ini aku berjanji untuk bertemu dengannya lagi. Seperti biasa, di kafe seberang stasiun kereta. Tak lupa aku membawakan buku yang dia pesan. Sebuah novel yang bercerita tentang seorang gadis yang menanti kekasihnya pulang dari rantau. Ceritanya sedih, aku tidak terlalu menyukainya. Jujur saja aku tidak terlalu suka membaca novel. Tapi di depan dia aku berusaha menutupinya. Seperti laki-laki pada umumnya, yah demi menarik perhatian dia. Di perjalanan menuju kafe aku berusaha mengumpulkan topik pembicaraan baru yang nantinya kugunakan untuk menghabiskan waktu dengannya. Sampai-sampai membayangkan reaksi lucunya ketika aku sampaikan lelucon garing. Aku tertawa tanpa sadar.

Tak terasa aku sudah sampai di lokasi yang dijanjikan. Dan seperti biasa, dia sampai lebih dulu daripada aku atau bisa dibilang terlalu rajin karena datang selalu lebih awal. Dia menyapaku dengan senyumnya yang manis. Itu yang membuatku selalu berusaha menepati janji untuk bertemu dengannya. Meski kadang aku disibukkan dengan pekerjaan, aku tetap menyempatkan waktu meski hanya sebentar. Dia tak pernah keberatan jika aku terlambat. Dia selalu memakluminya.

Kami selalu membicarakan hal-hal yang menarik. Kebanyakan dari yang dia ceritakan tak begitu kumengerti. Ataupun tentang hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu penting untuk dibicarakan. Tentang kucing yang tiba-tiba melompat dari satu atap ke atap lainnya. Kemudian jatuh hanya karena kaget oleh suara bel rumah. Tentang Pak pos yang selalu lewat setiap hari tapi tak pernah membawa surat. Menurutku pak pos itu hanya bertugas mengambil surat-surat yang ada di kotak pos saja. Tapi aku tetap tertawa mendengar cerita itu.

Hari ini pun sama. Kami membicarakan buku yang kubawa. Tentang seseorang yang menunggu sang kekasih tanpa kejelasan kapan dia akan kembali. Saat itu kami saling menyampaikan pendapat masing-masing. Mencoba menebak apa yang akan terjadi di buku seri selanjutnya. Waktupun berlalu sangat cepat. Aku yang sebenarnya masih ingin mengobrol dengannya harus pulang karena banyak pekerjaan yang menanti. Dan tak lupa, kami berjanji untuk bertemu esok hari. Di tempat yang sama, jam yang sama.

Keesokan harinya, pada perjalanan menuju kafe yang selalu aku kunjungi untuk bertemu dengannya, aku bertemu dengan teman lamaku. Namanya Nana. Sudah lama sekali aku dan Nana tidak bertemu karena dia juga sibuk dengan pekerjaannya. Pertanyaan pertama yang selalu dia tanyakan padaku adalah "Hey, sudah apa sekarang?"

Lucu sih, membingungkan. Tapi aku mengerti dia bermaksd untuk menanyakan kesibukanku. Dan seperti biasanya aku jawab dengan "Udah biasa." Nah semakin membingungkan. Kami berbincang-bincang sambil berjalan menuju kafe. Nana juga ingin ke kafe yang sama.

"Aku dengar kamu selalu datang ke kafe dekat stasiun." Dia membuka pertanyaan lain.
"Tahu darimana? Salah dengar kali." Aku mencoba sedikit bercanda karna malu sudah ketahuan olehnya.

Dia bilang dia tahu dari teman kami yang bekerja sebagai barista di kafe itu. Namanya Tora. Tidak aneh kalau aku tidak menyadarinya. Teman yang dia maksud adalah teman SMP kami dulu. Aku sudah agak lupa dengannya tapi dia masih mengenaliku.

"Kamu sedang belajar akting?" Tanya Nana seperti penasaran.

"Enggak," jawabku.

"Belajar pidato?"

"Enggak juga." Pertanyaannya membuatku bingung.

"Terus kamu ngapain tiap hari di kafe itu?"

Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, kami sudah sampai di depan kafe. Kami langsung masuk dan aku duduk di tempat biasa. Nana langsung menghampiri Tora untuk berbincang-bincang dan memesan kopi. Aneh sekali hari ini aku sampai lebih dulu. Aku menyapu seluruh ruangan kafe dengan pandanganku. Aku tak ingin sampai melewatkannya. Barangkali saja dia berpindah duduk menjadi di kursi pojok sana yang dekat dengan bukubuku yang dipajang di dinding kafe. Aku tetap tak menemukannya. Ini benar-benar aneh. Aku tak melihatnya di manapun. Padahal aku terlambat.